Sabtu, 31 Juli 2010

Pohon Kebajikan

Oleh Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen
(diterjemahkan oleh Dimas Tandayu dan Herry Mardian).
SEORANG MURID bertanya pada Bawa Muhaiyaddeen, “Bisakah Guru menjelaskan kondisi spiritualku, di mana aku sedang berada saat ini?”

Sang Guru menjawab, “Sebuah benih haruslah ditanam di saat yang tepat. Ketika ia mulai tumbuh, akarnya menyelusup jauh ke dalam tanah, memeluk dari semua penjuru. Segera benihnya tumbuh menjadi sebuah pohon. Seiring perjalanan waktu, pohonnya akan semakin membesar, lalu berbunga dan berbuah. Tatkala berbuah, buahnya tampak tidak lagi memiliki ikatan dengan tanah. Walaupun pohonnya terikat ke tanah, namun buahnya justru terhubung kepada manusia dan seluruh makhluk hidup.

Anakku, hidupmu pun demikian. Walaupun kau telah tumbuh begitu tinggi, sama seperti pohon: keterikatan akalmu, pemikiranmu, dan hasratmu masih pada bumi dan keduniaan. Seperti itulah kondisimu saat ini.
Tapi anakku, kau memiliki sebuah penghubung dalam qalb-mu, di dalam hatimu, yang berfikir tentang Tuhan dan mencari-Nya. Akan aku jelaskan cara mengembangkan hubungan tersebut. Ikutilah arahan ini baik-baik.

Sebanyak apa pun keterikatanmu pada dunia, jika kau ingin menemukan Tuhan, jika kau ingin menapaki jalan menuju-Nya; engkau, doa-doamu dan ibadahmu harus seperti pohon. Walaupun sebuah pohon terikat ke tanah, ia memberikan buahnya untuk semua mahluk. Walaupun kau terikat pada dunia seperti pohon, niatmu harus seperti niat sebuah pohon terhadap buahnya: doa-doamu, pengabdianmu, ibadah-ibadahmu, keunggulan-keunggulanmu maupun semua yang kau lakukan harus terhubung dengan Tuhan, dan kau harus melakukan pekerjaanmu dengan diniatkan untuk kemaslahatan semua makhluk, bukan untuk dirimu sendiri. Maka setelah itu, barulah kau akan berjalan dengan baik ketika menapaki jalan menuju-Nya.”
-=-=-=-=-=-=-
:: English Version (A Seed Must Be Planted At The Correct Time By M. R. Bawa Muhaiyaddeen)

Negeri Seribu Rumah Suluk Naqsyabandiyah

PadangKini.com
Aliran tarekat Naqsyabandiyah yang lebih 1.000 pengikutnya terdapat di Sumatera Barat memiliki ‘keunikan' dengan berpuasa dan Idul Fitri lebih awal 2 hari dari jadwal Pemerintah.
Seperti apa suasana tarekat ini? Kami membawa Anda ke kantong aliran tarekat Naqsyabandiyah di sepanjang tepian Sungai Rokan, Provinsi Riau. Di sini tempat ribuan rumah suluk yang didirikan jemaah Naqsyabandiyah. Abdul Wahab Rokan, tokoh yang membawa aliran Naqsabandiayah ke Asia Tenggara lahir di situ. Tulisan ini hasil liputan Febrianti dari PadangKini.com beberapa bulan lalu. (Redaksi)


Selasa, 27 Juli 2010

Panteisme dan Wahdatul Wujud

Dunia tasawuf maupun irfan erat kaitannya dengan istilah-istilah. Istilah-istilah ini sangatlah penting demi tercapainya pemahaman yang menyeluruh serta komplit dari suatu pembahasan tasawuf atau pun irfan. Apabila pemahaman kita akan suatu istilah itu salah, konsekuensinya hal itu akan berdampak pada pemahaman kita selanjutnya yang akan membawa kita jauh dari arti yang sebenarnya diinginkan.

Berangkat dari asumsi di atas, pada tulisan ini akan dipaparkan dua istilah atau konsep yang sering digunakan dalam dunia tasawuf, yakni panteisme dan wahdat al-Wujud. Dalam penggunaannya, kedua konsep ini oleh beberapa orang diartikan memiliki arti yang sama. Namun apakah benar kedua konsep ini memiliki arti yang sama? Tulisan di bawah ini mencoba menjelaskan dan membedakan antara kedua konsep tersebut.

Panteisme
Panteisme adalah doktrin yang mengidentikkan Tuhan dengan manusia atau alam. Dengan kata lain bahwa doktrin ini menghilangkan perbedaan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya, dan lebih jauh lagi meniadakan transendensi makhluk dengan khalik. Doktrin ini memahami bahwa antara Tuhan dengan makhluk merupakan suatu keserupaan bahkan kesatuan.

Panteisme merupakan istilah yang berasal dari Barat. Istilah ini digunakan oleh mereka guna memahami makna doktrin-doktrin ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud. Sebenarnya istilah ini sampai kepada mereka akibat pemahaman yang salah dari sekelompok sarjana seperti Ibn Taymiyyah, al-Biqa’i dan Abd al-Rahman al-Wakil yang menafsirkan wahdat al-wujud sebagai menyamakan Tuhan dengan alam, yakni bahwa wujud Tuhan adalah wujud alam dan wujud alam adalah wujud Tuhan.

Panteisme berasal dari pemahaman tidak lengkap tentang wahdat al-wujud yang terutama hanya melihat satu dari dua sisi dari konsep ini. Sebagaimana yang nanti akan dijelaskan, wahdatul wujud memiliki dua sisi penting, yakni sisi tasybih (keserupaan) dan sisi tanzih (ketidakdapatdibandingkan). Sedangkan panteisme dikatakan tidak lengkap karena hanya melihat sisi tasybih saja , tanpa melihat sisi yang lainnya, yakni sisi tanzih .

Wahdat al-Wujud

Wahdat al-Wujud yang merupakan sebuah doktrin dari Ibn Arabi, secara bahasa bermakna kesatuan wujud. Adapun makna terminologisnya adalah bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan dan bahwa wujud selain-Nya hanyalah ada dikarenakan manifestasi wujud-Nya. Dengan kata lain bahwa wujud selain-Nya adalah refleksi atau berasal dari wujud Tuhan. Satu-satunya eksistensi sejati adalah milik Yang Satu dan Yang Satu inilah yang tampak dalam semua manifestasi.[1]

Ibn Arabi memandang bahwa dunia dan ciptaan Tuhan yang lainnya merupakan panggung tempat berbagai nama Tuhan dapat mementaskan perannya. Ciptaan ini sengaja Tuhan ciptakan agar manusia tahu betapa berperan dan berkuasanya Ia. Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Aku (Allah) adalah wadah tersembunyi, dan aku cinta untuk diketahui, maka aku ciptakan suatu ciptaan.” Dalam bahasa yang lebih sederhana, Allah ingin melihat diri-Nya dari luar diri-Nya, oleh karena itu Allah menciptakan alam ini. Dengan kata lain bahwa alam ini ibarat cermin yang merefleksikan Tuhan. Sehingga dengan asumsi yang demikian, tak heran jika Ibn Arabi secara positif memandang bahwa alam dan manusia adalah manifestasi (tajalli) Tuhan.

Berangkat dari pemahaman ini, maka timbullah wahdah (kesatuan) wujud. Yakni bahwa walaupun di dalam alam ini terdapat banyak wujud, namun sebenarnya adalah satu, karena kesemuanya berasal dan ada disebabkan wujud-Nya. Oleh karena itu, dalam hal ini yang merupakan wujud hakiki adalah wujud Tuhan, dan selain-Nya hanyalah bayangan-Nya saja. Dan dengan pergertian yang demikian, Ibn Arabi berusaha menyampaikan kita pada sebuah kesimpulan bahwa Tuhan sangatlah dekat dengan makhluknya walaupun tanpa menghilangkan perbedaan antara keduanya. Tentunya hal ini sangatlah berbeda dengan panteisme yang secara jelas dan terang-terangan menghilangkan perbedaan antara keduanya.

Lebih jauh lagi, sebagimana yang sempat disinggung di atas, dalam wahdat al-wujud terdapat tasybih (keserupaan) dan tanzih (ketidakdapatdibandingkan). Keduanya merupakan istilah penting dalam doktrin wahdat al-wujud Ibn Arabi. Tasybih yakni bahwa Tuhan adalah identik, atau lebih tepatnya serupa dan satu dengan alam ~walaupun keduanya tidak setara~ karena Dia, melalui nama-nama-Nya, menampakkan diri-Nya dari dalam. Akan tetapi dilihat dari sisi tanzih, Tuhan sama sekali berbeda dengan alam karena Dia adalah Zat Mutlak yang tidak terbatas di luar alam nisbi yang terbatas.[2] Terkait hal ini, Ibn Arabi memiliki suatu ungkapan yang sarat akan makna, huwa la huwa (Dia dan bukan Dia).

Kesimpulan

Sebenarnya pangkal yang menyebabkan terjadinya dua penafsiran terhadap wahdat al-wujud adalah tidak lengkap dan sempurnanya pandangan beberapa orang terhadap doktrin ini. Yakni bahwa mereka melihat doktrin ini tidak secara utuh dan hanya secara partikular saja. Seperti sempat disinggung di atas, bahwa konsep wahdat al-wujud memiliki dua sisi, yakni; tasybih dan tanzih. Namun mereka hanya melihat satu sisi, yakni sisi tasybih saja. Oleh karena itu, tak heran jika kemudian ~disebabkan hanya berangkat dari pemahaman ini saja~, maka muncul penafsiran yang berbeda. Penafsiran inilah yang kemudian dikenal dengan panteisme.

Lebih jauh lagi, dari sedikit pemaparan di atas, setidaknya kita sudah memperoleh perbedaan esensial dan mendasar antara panteisme dan wahdat al-wujud. Sebagaimana disebutkan di atas, panteisme menafikan transendensi Tuhan dengan meniadakan perbedaan antara Tuhan dengan makhluk, dan pada saat yang sama mengidentikkan antara keduanya. Sedangkan wahdat al-wujud, sebaliknya justru mempertahankan transendensi Tuhan. Perlu diketahui bahwa doktrin wahdat al-wujud menekankan tidak hanya imanensi Tuhan, tetapi juga transendensi-Nya.[3]

Kesatuan antara tasybih dan tanzih yang dalam istilah Ibn Arabi dikenal dengan al-Jam’ bayna al-adhdhad merupakan pemahaman yang benar serta utuh terhadap doktrin wahdat al-wujud, sedangkan pemahaman yang hanya melihat satu sisi, yakni tasybih serta mengabaikan sisi lainnya (tanzih) adalah pemahaman yang cacat.

[1] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud, PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 27.
[2] Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Serambi, 2003, h. 27.
[3] Ibid, h. 27.

Daftar Pustaka
Noer, Kautsar Azhari. 2003, Tasawuf Perenial, Jakarta: Serambi.
Hirtenstein, Stephen. 2001, Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Burckhardt, Titus. 1984, Mengenal Ajaran Tasawuf, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

by :