Sabtu, 19 Juni 2010

NABI KHIDIR AS DAN WALI ALLAH

by. Ahmad Zain An Najah

“ Keyakinan kita (ahlu al–sunnah wa al-jama’ah) adalah tidak memuliakan seorang wali di atas nabi, bahkan sebaliknya kita berkeyakinan bahwa satu orang Nabi lebih mulia dari seluruh wali “ ( Imam Thohawi )

Adalah seorang Kyai yang mendapat amanat sebuah jabatan yang bergengsi, akan tetapi yang sangat disayangkan adalah pernyataan-pernyataannya yang sering kali terdengar aneh, manuver-manuver politik nya sering membingungkan orang, alias nggak jelas dan sulit di tebak, “ manuver politik seorang wali “ kata seorang pengikutnya.

Bahkan ketika secara jelas, dia melakukan sebuah kesalahan fatal, masih ada saja yang menyeletuk: “ dia kan seorang wali , masak berbuat salah “ . Cara berpikir seperti ini perlu diluruskan.

Sebagian lain mengaku, bahwa dia mempunyai seorang guru, yang dalam satu waktu bisa berada di dua tempat. Percayakah anda bahwa dia seorang wali Allah ? Bahkan diantara mereka tidak bergeming sedikitpun ketika di bacok dengan pedang, apakah itu pertanda bahwa dia mempunyai karomah ? Bahkan konon beberapa diantara wali songo bisa merubah buah yang masih dipohon menjadi emas, malah diantara mereka ada yang bisa berjalan di dalam tanah. Bagaimana seorang muslim harus bersikap, ketika melihat fenomena di atas ?

Pengertian wali dan beberapa syaratnya

Wali di dalam ajaran Islam mempunyai banyak arti :

1/Wali berarti teman setia dan orang yang dipercaya Allah berfirman

يأبها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق

Wahai orang – orang yang beriman janganlah engkau menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman- teman setia, yang kamu sampaikan kepada mereka ( berita –berita Muhammad), karena rasa kasih sayang , padahal mereka telah ingkar terhadap kebenaran yang datang kepadamu “ ( QS Al Mumtahanah : 1 )

2/Wali juga berarti pemimpin. Allah berfirman :

يأبها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض

Wahai orang – orang yang beriman , janganlah engkau menjadikan orang orang Yahudi dan Nashrani sebagi pemimpin- pemimpin kamu, sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain “ ( QS Al Maidah : 51 )

3/Wali juga berarti pelindung. Allah berfirman :

الله ولي الذين آمنوا يخرجهم من الظلمات إلى النور

Allah adalah pelindung orang –orang beriman , Yang mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada yang terang “ ( QS Al Baqarah : 257 )

Dari keterangan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Wali Allah adalah : “ Orang – orang yang dekat kepada Allah , karena mereka menyerahkan diri kepada-Nya, mengerjakan perintah- perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya( menjadikan Allah sebagai pemimpin mereka ) , serta mereka akan mendapatkan perlindungan dari Allah “ .

Sebagian ulama ada yang membagi Wali Allah menjadi dua kelompok :

a. Kelompok pertama yaitu orang- orang yang mendapatkan “ Wilayat al-‘Ammah ” ( perlindungan secara umum ) dari Allah . Mereka itu adalah orang-orang Islam dan beriman , yang secara umum telah mendekatkan diri dengan Allah, dan akan mendapatkan perlindungan dari Allah, walau mereka kadang menjauh dari Allah, atau berbuat maksiat terhadapNya.

b.Adapun kelompok yang kedua adalah mereka yang akan mendapatkan “ Wilayat al-Khosoh “ ( perlindungan secara khusus ) dari Allah swt. Menurut sebagian ulama , mereka adalah orang – orang yang mengetahui Allah dengan segala sifat-sifatNya, yang selalu mentaati segala perintah–Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, selalu menjaga dirinya supaya tidak terjerumus ke dalam kesenangan yang melalaikan, dan segera bertaubat ketika berbuat kesalahan “

Namun, orang yang mendapatkan “Wilayat al-Khosoh “ diatas, sebenarnya tidaklah terbatas apa yang di terangkan di atas , artinya : bahwa orang yang mengetahui Alloh dan sifat-sifat-Nya saja, belumlah cukup untuk mendapatkan “Wilayat al-Khosoh “ dari Allah. Karena ada satu unsur penting yang belum disebutkan pada pengertian di atas , padahal unsur tersebut sering disinggung oleh para ulama.

Untuk mengetahui satu unsur penting tersebut, kita mencoba menyelusurinya, disela- sela pernyataan Hasan Basri, seorang ulama yang amat piawi pada zaman tabi’in. Beliau pernah mengatakan : “ Ilmu itu ada dua ; ilmu yang di lidah, adalah sesuatu yang akan dimintai pertanggung jawabannya di depan Allah, sedang yang kedua adalah ilmu yang di hati, inilah ilmu yang bermanfaat “ .Beberapa ulama salaf pun pernah mengatakan : “ Ulama itu ada tiga macam ; Pertama : adalah mereka yang mengetahui tentang Allah dan tentang perintah Allah, Kedua: adalah meeka yang mengetahui tentang Allah tapi bodoh terhadap perintah-perintahNYa , Ketiga : adalah mereka yang mengetahui perintah Allah tapi bodoh tentang Allah sendiri. Yang terbaik adalah yang pertama “ .

Berpijak dari keterangan diatas, kita katakan bahwa : seorang wali yang akan mendapatkan wilayah khossoh , haruslah mempunyai ilmu yang memadai tentang Dienul Islam, atau meminjam ungkapan Hasan Basri adalah menguasai ilmu tentang hukum-hukum Allah. Tanpa bekal ini, tak mungkin seseorang bisa sampai pada derajat wali. Kenapa ? Karena seseorang tidak akan menjadi hamba yang dicintai Allah, kalau dia bodoh terhadap perintah-perintah-Nya. Semangat di dalam beribadah saja tidak cukup untuk meraih gelar ini. Kita lihat, umpamanya orang-orang Nasrani ( Kristen ) , mereka sangat antusias di dalam beribadah, tetapi Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang sesat ( Dhollin ) , seperti yang tercantum di dalam surat Al Fatihah. Semangat, tapi bodoh hanya akan menghasilkan orang- orang yang sesat saja. Sebaliknya, pintar tanpa semangat, hanya akan menghasilkan orang-orang yang dimurkai Allah ( Al Maghdhubi ‘alaihim ) termasuk di dalamnya orang-orang Yahudi. Islam adalah agama penengah ( wasath ), agama yang telah menjadi saksi bagi umat-umat yang lainnya, agama yang memperhatikan seluruh demensi kehidupan, agama yang ajarannya mampu membuat kehidupan ini seimbang.

Wal hasil, ilmu adalah hal yang sangat diperlukan bagi seorang yang ingin menjadi seorang wali. Perhatikan sabda Rosulullah saw. :

ومن يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

Barang siapa yang Allah menginginkan pada dirinya kebaikan, niscaya Allah akan memahamkan dia tentang ajaran agama. “ ( HR Bukhori Muslim )

Berkata Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits diatas : “ Mafhum hadits diatas menunjukkan, bahwa barang siapa yang tidak mempelajari ajaran Islam atau paling tidak tentang dasar-dasar agama dan masalah furu’ yang terkait, berarti dia tidak akan mendapatkan kebaikan ( Fathul Bari 1/165 ) .

Hal ini dikuatkan juga dengan firman Allah :

ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولاهم يحزنون الذين آمنوا وكانوا يتقون

” Sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada ketakutan dalam diri mereka dan merekapun tidak bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah serta bertaqwa kepadaNya “ ( QS. Yunus : 62-63 )

Orang- orang yang bertaqwa adalah orang yang mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Dan seseorang tidak akan bisa berbuat seperti itu, kalau tidak mengetahui perintah-perintahNya serta bodoh terhadap larangan-laranganNya.

Dari uraian di atas, akhirnya kita bisa menyimpulkan, bahwa Wali Allah yang sebenarnya adalah seorang muslim yang alim terhadap ajaran agamanya dan konsekwen, serta konsisten dengan ilmu yang dimilikinya, siapapun dia, dan apapun kedudukannya.

Khidhir as, seorang wali atau nabi ?

Di sana ada beberapa kasus yang perlu ditanggapi, diantaranya adalah kisah Khidir dengan nabi Musa. Di dalam surat Al Kahfi disebutkan bahwa nabi Musa as pernah belajar kepada Khidhir. Sebagian kaum muslimin yang berkeyakinan bahwa Khidhir adalah seorang wali, mereka menyimpulkan bahwa seorang wali lebih afdhol dari seorang nabi, dengan bukti nabi Musa belajar kepada Khidir. Keyakinan ini, akhirnya berkembang lebih luas lagi dan menyebabkan bermunculnya orang- orang yang mengaku dirinya wali Allah, bahkan sebagian mereka sudah tidak mengakui ajaran Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad saw, karena beranggapan bahwa wali lebih utama dari nabi, dan tidak perlu mentaati ajaran- ajarannya.

Sungguh keyakinan semacam itu sangat menyesatkan, karena akan mengakibatkan rusaknya ajaran Islam ini. Padahal menurut pemahaman Ahlu al-Sunnah wa al- Jama’ah bahwa nabi dan rosul merupakan manusia yang paling utama dan mulia di sisi Allah swt. Untuk lebih jelasnya, kami sebutkan di bawah ini, urutan umat manusia yang paling utama sejak awal diciptakannya, hingga hari kiamat kelak-berdasarkan pendapat para Ulama Ahlu Sunnah- :

1-Urutan Pertama adalah para rosul dan nabi adalah kelompok manusia yang paling mulia di sisi Allah, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa mereka lebih mulia dari para Malaikat. Diantara para rosul dan nabi tersebut, terdapat Ulul Azmi ( Nabi Muhammad saw, Isa as, Musa as, Ibrahim as, Nuh as) mereka itu, adalah orang – orang yang terbaik di antara para nabi dan rosul. Dan Nabi Muhammad saw adalah yang terbaik diantara ulul azmi sekaligus sebagai pemimpin para nabi dan rosul.

2.Setelah itu, baru para wali Allah. Dan kelompok Wali Allah yang paling baik dalam sejarah manusia adalah para sahabat Rosulullah saw . Diantara para sahabat tersebut, Abu Bakar As-Siddiq adalah yang terbaik. Kemudian Khulafa Rosyidin sesudahnya yaitu : Umar bin Khottob ra, Utsman bin Affan ra, serta Ali bin Abi Tholib ra)

Barangkali diantara kita ada yang bertanya, kalau begitu di mana Khiddhir as di dalam urutan- urutan tersebut ? Bagaimana dengan wali-wali Allah yang lainnya, khususnya yang sangat dikenal oleh masyarakat awam ? Dan bagaimana dengan wali songo yang ada di Indonesia ?

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan diatas, kita harus mengetahui terlebih dahulu, apakah Khidhir as itu nabi atau wali ? Sampai sekarang masalah ini, masih menjadi polemik yang hangat dikalangan sebagian orang. Dan hal ini, sangatlah wajar karena tidak ada teks Al-Qur’an maupun Hadist yang menyebutkan secara terus terang tentang status Khidhir as. Oleh karenanya kita dapatkan sebagian orang beranggapan bahwa Khidhir as, adalah seorang wali besar, bahkan mungkin Imamnya para wali. Dan Allah telah menganugrahkan kepada-nya wahyu dan ilmu, serta hikmah. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa Khidir as adalah salah satu dari Nabi Allah. Tapi yang jelas, keduanya sepakat bahwa Khidir as adalah hamba Allah yang pernah bertemu dan menjadi guru nabi Musa as, yang kisahnya disebutkan dalam Al Qur’an, tepat di dalam surat Al Kahfi.

Paling tidak, ada dua hal yang menunjukkan bahwa Khidhir adalah seorang nabi.

Pertama : Ibnu Katsir di dalam bukunya “ Al Bidayah wa al -Nihayah “ telah memberikan alasan yang cukup menarik untuk menolak pendapat yang mengatakan bahwa Khidhir as membunuh anak kecil yang ditemuanya di jalan, karena perasaannya mengatakan bahwa anak kecil tersebut, kelak akan menjadi anak yang durhaka kepada orang tuanya. Ibnu Katsir menyatakan bahwa seorang wali, bagaimanapun juga derajatnya, tidak begitu saja berbuat sesuatu yang sangat besar hanya berdasar perasaan belaka. Karena sebuah “perasaan” tidak boleh dijadikan standar untuk semudah itu menghabisi nyawa anak kecil yang belum punya dosa.

Abu Bakar as Siddiq ra saja- yang nota benenya adalah pemimpin para wali – masih bimbang , ragu-ragu, dan berpikir tujuh kali, sebelum akhirnya mantap untuk menjalankan proyek “ jam’ul quran “ ( mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf ) . Abu Bakar as Siddiq ra bimbang untuk melangkah, karena kawatir apa yang akan dilakukannya nanti akan menyalahi ajaran Rosulullah saw. Padahal proyek “ jam’ul quran “ merupakan proyek yang sangat masuk akal, dan mempunyai dasar pijakan yang kuat. Walau begitu, Abu Bakar as Siddiq masih ragu dan penuh kekhawatiran. Lain dengan Khidhir as, yang dengan begitu mudah membunuh anak kecil yang ditemuinya tanpa sebab apa-apa. Ini semua menunjukkan bahwa Khidhir as adalah seorang nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah swt, sehingga dengan wahyu tersebut,tanpa pikir panjang beliau segera menjalankan apa yang diperintahkan kepadanya, walau perbuatan tersebut, secara sekilas terlihat sebagai sebuah kemungkaran.

Kedua : Nabi Musa as belajar dari nabi Khidhir as. Ini juga , merupakan indikasi bahwa Khidhir as adalah seorang nabi. Karena sangat kecil kemungkinannya seorang Nabi sekaliber Musa as, diperintahkan belajar dari seseorang yang bukan Nabi.

Bagi orang yang hanya membaca kisah Khidhir as dengan nabi Musa as secara sekilas, akan terkesan baginya, bahwa Khidhir as lebih pandai dari nabi Musa as. Dan itu, akan memberikan dampak yang kurang bagus pada keyakinan masyarakat, karena akan mengesankan bahwa Khidhir as ( yang menurut mereka adalah seorang wali ) ternyata lebih mulia dari seorang Nabi Musa as, salah seorang nabi yang mendapatkan julukan Ulil Azmi ( Nabi- nabi yang memiliki ketangguhan yang luar biasa )

Seseorang yang menyakini bahwa seorang wali lebih mulia dari nabi, bahkan lebih mulia dari para nabi yang tergolong dalam kelompok Ulul Azmi, maka orang tersebut telah terjerumus di dalam kebodohan yang nyata. Keyakinan tersebut merupakan keyakinan yang sesat, dan merusak aqidah kaum muslimin, karena beranggapan bahwa seorang wali berhak untuk berbuat sesuka hatinya, walau perbuatan itu bertentangan dengan syara’ dan akal sehat serta fitrah manusia. Dia, bisa saja merusak barang milik orang lain dengan dalih menyelamatkannya, atau bahkan akan dengan mudah membunuh siapa saja yang dia kehendaki, dengan alasan dia adalah seorang wali, dan dia meniru apa yang dilakukan oleh Khidhir as.

Pendapat bahwa Khidir as, adalah seorang nabi, dikuatkan dengan perkataan seorang tokoh Islam, yang karya-karyanya menjadi rujukan kaum muslimin yang bermadzhab ahlu al–sunnah wa al-jama’ah, yaitu Imam Thohawi, beliau menulis di dalam matan “ Aqidah Al- Thohawiyah “ :

“ Keyakinan kita (ahlu al–sunnah wa al-jama’ah) adalah tidak memuliakan seorang wali di atas nabi, bahkan sebaliknya kita berkeyakinan bahwa satu orang Nabi lebih mulia dari seluruh wali “

Begitu juga wali- wali lain yang telah dikenal luas oleh masyarakat, baik di Timur Tengah, maupun di belahan bumi yang lain, termasuk di Indonesia sendiri, mereka itu, bagaimanapun tingginya keimanan dan kehebatan mereka, namun kedudukan mereka, tetap di bawah para sahabat Rosulullah saw, karena para sahabat adalah generasi terbaik sepanjang sejarah manusia , tentunya setelah para nabi dan rosul. Merekalah ( para sahabat ) wali-wali Allah yang bukan saja bisa menyebarkan Islam , tapi mereka juga telah mampu menaklukan dunia ini dan membekuk dua kekuatan super power pada waktu itu, Persi dan Romawi.

Sedangkan wali- wali Allah yang lain, khususnya yang hidup pada zaman ini, keimanan mereka jauh di bawah keimanan para sahabat. Apalagi yang mengaku-ngaku bahwa diri mereka wali, tentunya sangat jauh perbedaannya. Inipun, kalau mereka benar- benar wali Allah. Karena wali Allah yang sebenarnya, adalah mereka yang memberikan kontribusi pada masyarakat dengan semaksimal mungkin. Yaitu selalu berdakwah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi di masyarakat , bahkan akan mampu mnggerakkan reformasi yang sebenar- benarnya. Dan tentunya Umat Islam, dan bangsa Indonesia khususnya, akan bisa merasakan kehadiran mereka. Namun kenyataannya, justru yang terjadi adalah kerusakan demi kerusakan, kekacuan demi kekacuan, bahkan suara mereka, yang mengaku wali- wali Allah, tidak pernah terdengar.Wallahu a’lam.

Kairo, Agustus 2002


sumber : ahmadzain.wordpress.com/2007/04/03/aqidah-3/

Mengapa Perlu BerTasawuf dan Memiliki Mursid/Guru

Assalamu ‘alaikum wr wb

Bismillah hirRohman nirRohim

Tasawuf pada masa Rasulullah saw, adalah realita tanpa
nama, tasawuf saat ini, adalah nama tanpa realita,
kecuali hanya sedikit yang menjalankan realitanya
dalam bimbingan Mursyid Hakiki. Tasawuf bukan membaca
buku2 Tasawuf dan mengkaji dari berbagai teori tasawuf
seperti Ibnu Arabi, Syadzili, Qodiri, Mevlevi Rumi
seperti banyak kajian tasawuf diberbagai Masjid saat
ini. Itu hanya baru mempelajari mengenal tasawuf bukan
bertasawuf. Sangat berbeda jauh antara bertasawuf dan
mempelajari buku atau hadir dalam ceramah tasawuf
jauh, dampak dan pemahamannya bagai setetes air
dibanding samudera.
Bertasawuf adalah melaksanakan
dzikir dan mengambil Mursyid dengan berbayat. Bila ia
mendengarkan ceramah dari Mursyid tasawuf yang Wali
Allah, maka ia akan mendapatkan ilmu sekaligus Hikmah.

Ilmu seperti pesawat terbang yang indah bentuknya.
Hikmah seperti Bahan Bakarnya. Begitu banyak orang
yang bangga dengan keindahan ilmunya, tetapi tanpa
bahan bakar hikmah ia tetap didarat tak dapat terbang.
Hikmah didapatkan dari mendengarkan langsung dan
bersama Wali Allah, sementara ilmu dari ulama biasa
kadnag membebani. Himah tak dapat terlupa dan
mengatkan, sementara ilmu ketika kita sudah tua, maka
yang menghancurkan ilmu adalah LUPA ( Hadist Nabi
saw). Hikmah adalah langsung mendengar dan bertemu,
karena ada dua macam ilmu. Ilmu Awroq ( tulisan) dan
Ilmu Azwaq (Rasa). Ketika kita mendengar seorang
Kekasih Allah/Wali Allah bicara, maka ilmu rasa yang
ditransfer langsung kedalam kalbu kita. Ketika kita
menulis dari ceramah Wali Allah, maka yang semula kita
terima dalam bentuk Hikmah, berubah menjadi Ilmu.
HImah adalah RASA, peretmuan langsung dengan Para Wali
Allah. Berjamaah dengan wali Allah, bagaikan iabadah
70 tahun, maka carilah para Wali Allah.

Itulah sebabnya Umar ra ketika berencana membunuh Nabi
saw dan ketika berhadapan langsung dengan Nabi saw,
maka ia masuk islam. Inilah ilmu Rasa yang ditransfer
melalui tatapan mata, melalui pertemuan langsung, ilmu
para Nabi dan Kekasih Allah, yang merubah benci
menjadi cinta. Ada dua macam ilmu, Ilmu yang darei
ucapan ulama biasa dan Ilmu yang sejati ditransfer
dengan langsung bicara dan kemudian ditransfer dari
hati ke hati. Ilmu Ulama yang bukan Wali Allah, ketika
kalian mendengarnya kadang ego menolak, karena berasal
dari luar. Tetapi Ilmu Wali Allah bekerja dengan dua
cara , dari luar dan dari dalam, dari luar berupa
ucapan, dari dalam berupa ilham ilahiah yg dimasukkan
kehati setiap muridnya. Dan ketika muridnya
melakukannya ia mersakan hal itu dari inspirasinya
sendiri sehingga ia ihklas melakukannya tanpa beban
sedikitpun. Itulah cara kerja Wali Allah dalam
membersihkan dan membenahi para muridnya.

Seorang siswa kedokteran ahli bedah, tidak bisa
menjadi ahli bedah hanya dengan membaca buku2 tentang
ilmu bedah. Seperti orang yang menulis tentang mabuk
tetapi ia sendiri belum pernah merasakan mabuk.
Seorang ahli bedah haruslah telah menjalani praktek
bedah, latihan dengan langsung membedah dibawah
bimbingan dokter ahli bedah yang ahli yg telah
berkali2 membedah manusia.

Demikian pula tasawuf, ada banyak profesor, DR
mendalami tasawuf dan mengajar tasawuf, tetapi ketika
ditanya siapa Mursyidnya, mereka mengatakan tidak
memiliki mursid. Artinya bagaimana seorang penulis
tentang jantung bicara tentang membedah jantung
padahal dia bukan dokter ahli jantung, padahal dia
belum pernah melakukan pembedahan? Bagaimana seorang
yang belum pernah memiliki mursyid bicara tentang
tasawuf padahal dia belum bertasawuf? Tasawuf adalah
pengalaman rasa, bukan ilmu tulisan. Tasawuf adalah
Ilmu Azwaq ( Ilmu Rasa) bukan ilmu Awroq, Ilmu
tulisan. Tasawuf adalah mengambil bay’at dari Mursyid
hakiki dan melaksanakan dzikir yang telah ditetapkan
sesuai tariqahnya, dan menjalankan amalan hanya dengan
perintah Syaikh/Mursyid yang Hakiki.

Ada begitu banyak sufi palsu, ada begitu banyak Guru
sufi palsu yang hanya menjelekkan citra sufi. Secara
syariah mereka tidak mengerjakan, secara sunah mereka
menjauhi sunah. Tak ada tariqah tanpa syariah, karena
seumpama syariah adalah lilin penerang untuk menjalani
jalan tariqah agar tak tersesat dan menuju hakikat.
Imam Malik, Imam Mazhab Maliki mengatakan Syariat
tanpa tasawuf adalah zindik, dan tasawuf tanpa syariat
adalah sesat. Jadi muslim sejati harus memiliki
keduanya, untuk mencapai maqam mukmin (memiliki iman
yg sejati) dan mencapai maqam muhsin ( ihsan, dimana
ketika solat seolah berhadapan dgn Allah, Allah selalu
melihat kita)

Setiap orang perlu pembimbing ruhani sejati, hanya
124.000 wali disetiap masa yang merupakan pembimbing
sejati. Berdoalah,”Ya Allah kirimkanlah para KekasihMU
untuk membimbing hamba yang lemah ini”. Siapa berdoa,
maka ia akan medapat jawabannya. Siapa yg mencari
Mursyid sejati, maka ia akan menemukannya. Tetapi saat
ini setiap orang bangga dengan dirinya, mereka
mengatakan gurunya cukup dengan buku. Padahal ketika
mereka secara fisik sakit dan harus menjalani operasi,
mereka bagaikan orang lemah yg setuju harus
menandatangani berita acara operasi. Bahkan tanpa
mereka perlu membacanya, karena mereka telah pasrah
dengan penyakitnya.

Tetapi ketika qalbu mereka sakit, ketika hati mereka
berkarat, ketika mereka tak mampu mengalahkan egonya,
mereka tetap tak mau mencari obat dari Sang Pembimbing
Ruhani Sejati para Wali Allah. Mereka para Awliya (
Wali-Wali Allah) tak butuh uang anda, tak butuh
pujian, mereka orang yg ikhlas bekerja sepanjang hari
tak kenal lelah tanpa bayaran, cukup Allah dan
Rasulullah saw bagi mereka. Ketika kalian akan
menyebrang padang pasir yang tak dikenal, kalian
perlukan penunjuk jalan, agar tak tersesat, agar tahu
bahaya yg menanti disetiap langkah, mungkin badai
pasir, binatang buas, ular, pasir yang menelan dsb.
Tentu saja penunjuk jalan itu telah melalui padang
pasir itu berkali2 sehingga mengetahui karakter padang
pasir itu.

Demikian juga apakah kalian pikir meniti jalan ruhani
jauh lebih mudah daripada menyebrang padang pasir tak
dikenal?. Mereka yang dikuasai ego , memerlukan
bimbingan guru ruhani sejati yg telah mengalahkan
egonya, dan mengetahui cara memotong tangan2 gurita
ego dari korbannya. Setiap orang perlu mencari Wali
Allah sebagai pembimbing, bukan hanya ulama biasa yang
terkadang masih memiliki ego yang tinggi.

Ilmu Ulama biasa dibanding Wali Allah, ilmunya bagai
setetes air dari samudera ilmu wali Allah. Ilmu Wali
Allah dibanding ilmu sahabat Nabi saw, bagai setetes
dari samudera ilmu sahabat. Dan ilmu sahabat Nabi
dibanding Nabi saw, bagai setetes dari samudera ilmu
Nabi saw. Carilah Wali Sejati yang akan membimbing
kalian, begitu banyak jalan tariqah sufi ini telah
ditunjukkan tetapi ego selalu menolak. Ketika kita
akan melangkah kepada yang Haqq, maka seratus setan
dalam bentuk manusia, jin mencegah kalian untuk
mendekati yang Haqq. Berjuanglah untuk mencari yang
Haqq. Ada dua kubu dalam islam, Islam yang Penuh Cinta
dan Islam yang penuh kebencian. Hanya jalan CINTA yang
nanti akan Allah ridhoi. Hanya jalan cinta yang
merupakan jalan Nabi saw. Mengapa kalian tak megikuti
Nabi saw ketika dihujani batu di Thaif tetapi tetap
mendoakan umatnya agar selamat, tanpa dendam, itulah
jalan cinta.

Mengapa kita perlu Mursyid? Imam Ghazali dalam buku
Ihya Ulumudin mengatakan tanpa Mursyid maka mursyid
kalian adalah setan. Ya setan bermain dengan ego
kalian, karena kalian selalu akan terhambat mencapai
kemajuan spiritual bila tak memiliki bimbingan. Bahkan
untuk belajar matematika saja kalian perlu guru. Tentu
berbeda matematika SD dan Perguruan tinggi. Tentu
berbeda islamnya kalian ketiaka kecil dan untuk
mencapaiiman dan ihsan. Untuk mencapainya kalian perlu
mensucikan jiwa kalian, membersihkan dari ego,
membersihkan karat hati dari maksiat. Jalan pintas
tercepat adalah memiliki guru para Wali Allah yang
penuh cinta, dialah pembimbing sejati.

Mengapa kalian perlu guru dan bay’at? Karena di
Mahsyar nanti meskipun mereka ahli tahajud, ahli
quran, ahli puasa, mereka akan ditanya, Siapa Imam mu?
Apa yang kalian jawab, tak punya Imam, maka kalian
akan dibiarkan di mahsyar selama 50.000 tahun dimana
sehari sama dengan seribu tahun. Sampai kalian
mendapat syafaat Nabi saw atau ampunan Allah baru
kalian diperkenankan masuk surgaNYA. Itulah sebabnya
di Al-Quran dikatakan masukilah rumah melalui
pintu2nya. Artinya mengenal agama ini melalui
pintu2nya. Nabi saw mengenal islam melalui Malaikat
Jibril as, Abu Bakar ra mengenal agama melalui Nabi
saw, terus hingga tabiin, tabiit, Imam Mazhab dan
sampai kepada Wali Akhir Zaman ini. Merekalah yang
perlu kalian ikuti. Insya Allah siapapun yang mencari
dan berdoa, untuk memdapatkan Pembimbing Sejati Para
Kekasih Allah, maka mereka akan mendapatkannya. Amin
Ya Rabbal alamin. Karena Allah selalu menjaga Walinya
124.000 Wali disetiap jaman., Mereka adalah manusia
yang selalu dijaga Allah.

Wa min Allah at tawfiq

wasalam, arief hamdani
Tariqah Naqshbandi Haqqani Sufi
HP. 0816 830 748, 0888 133 5003
Rabbani Sufi Institut Indonesia


sumber artikel : ipaku.wordpress.com/2007/11/27/mengapa-perlu-bertasawuf-dan-memiliki-mursidguru/

BAB 1 MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI

BAB 1 MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI

KERESAHAN TERHADAP ALIRAN SESAT

Belakangan ini, Indonesia sedang dilanda gelombang besar paham baru keislaman yang beraneka ragam bentuknya dan sangat menyesatkan. Munculnya sikap-sikap ekslusif dan arogan dari para pengusung atau pengikut masing-masing paham tersebut telah semakin meresahkan masyarakat.

Merasa diri berhak berupaya mengkaji al-Qur'an atau hadis, merasa diri paling benar dan yang lain salah, menganggap kesesatan itu hanya Alloh yang berhak memvonisnya, dan menganggap pemahaman umat Islam tentang agama selama ini keliru, semua dalih itu telah menyebabkan perbedaan pendapat yang memicu perpecahan di kalangan umat Islam.

Para ulama pun tidak tinggal diam, demi menyaksikan "kekacauan" tersebut. Sebagai wujud tanggung jawab mereka kepada Allah, maka mereka terus berupaya membentengi umat dari serangan paham-paham sesat tersebut, baik secara perorangan melalui mimbar-mimbar masjid atau majlis-majlis ta'im, maupun secara lembaga seperti yang dilakukan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Upaya itu mereka wujudkan dalam bentuk penjelasan-penjelasan atau fatwa-fatwa yang menyatakan bahwa paham-paham tersebut sesat dan menyesatkan.

Meskipun begitu, fatwa-fatwa para ulama terutama MUI (Majelis Ulama Indonesia) tersebut seringkali menghadapi kendala, baik dari pihak-pihak yang tidak senang dengan fatwa-fatwa tersebut, maupun dari pihak pemerintah yang tidak selalu siap mengakomodir fatwa-fatwa itu dengan fasilitas hukum, sehingga para ulama terkesan hanyalah sebagai kumpulan orang-orang sok tahu yang gemar mempermasalahkan orang lain, sedang fatwa-fatwa mereka tak ubahnya bagaikan gonggongan anjing yang tidak perlu dihiraukan.

Namun begitu, alhamdulillah, berkat para ulama tersebut, masyarakat banyak yang terselamatkan dari bahaya kesesatan. Mereka dapat mengenal paham-paham sesat dan menjauhinya dengan bimbingan fatwa-fatwa mereka. Meski demikian, bukan berarti keresahan dan perpecahan di kalangan masyarakat Islam dapat hilang dengan mudah. Sistem hukum dan undang-undang yang sekuler serta pemerintahan yang tidak tegas dalam menindak pelaku kesesatan, adalah salah satu yang paling mendukung keleluasaan orang-orang berpaham sesat untuk bertahan dan menyebarluaskan kesesatannya.

Berbeda pendapat adalah hak asasi setiap orang yang dilindungi undang-undang di negara ini. Sayangnya, karena tidak adanya batasan yang jelas, perbedaan pendapat itu seringkali memasuki wilayah prinsip dalam agama yang seharusnya dihindari. Malahan agamalah yang sering menjadi korban empuk argumentasi perbedaan pendapat itu sambil berlindung di balik payung HAM (Hak Asasi Manusia) yang sekuler. Sehingga sepanjang perbedaan itu masih ada (bahkan dilindungi), potensi perpecahan pun akan tetap eksis.

TIDAK DIANGGAP SESAT TAPI MERESAHKAN

Dalam pada itu, ada aliran atau paham yang tidak pernah difatwakan oleh lembaga formal para ulama Indonesia seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), namun keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia bahkan di kalangan umat Islam di dunia terbukti sangat meresahkan. Faham itu bernama Salafi dan Wahabi. Banyak ulama yang secara pribadi bahkan telah terang-terangan menyatakan faham ini sebagai "masalah" di kalangan umat Islam.

Tidak difatwakan sebagai aliran sesat, tidak selalu berarti lurus dan benar. Sebab apa yang hakikatnya lurus dan benar seyogyanya tidak memunculkan masalah dalam prakteknya pada kehidupan sosial, kecuali hanya akan menghadapi tantangan dari orang-orang kafir atau munafik yang tidak suka terhadap Islam.

Pertanyaannya, mengapa kaum Salafi dan Wahabi ini di satu sisi hampir tidak pernah "bermasalah" dengan orang-orang kafir, di sisi lain malah gemar sekali "mempermasalahkan" saudaranya sendiri sesama muslim yang mayoritas tidak sepaham dengan mereka? Bagaimana mungkin pengakuan mereka sebagai pengikut al-Qur'an & Sunnah Rasulullah Saw. dapat dibenarkan, sementara sikap mereka bertolak belakang dengan ciri-ciri pengikut Rasulullah Saw. yang difirmankan oleh Allah Swt., "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…"(QS. al-Fath: 29)? Ayat al-Qur'an atau hadis Rasulullah Saw. yang manakah yang menyuruh mereka bersikap "keras" terhadap saudaranya yang muslim?

Berbagai kasus ketidaknyamanan yang disampaikan masyarakat di berbagai wilayah akibat fatwa-fatwa dan pernyataan kaum Salafi dan Wahabi inilah yang menjadi motivasi kuat bagi kami untuk membuat buku atau film dakwah ini. Propaganda paham mereka yang lumayan gencar melalui terbitan buku-buku terjemahan dan siaran Radio seperti Radio Dakta Bekasi (FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4 Mhz) telah semakin meresahkan. Menganggap sesat amalan orang lain dengan tuduhan bid'ah dan menganggap hanya diri merekalah yang sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta Sunnah para Shahabat beliau, menjadi tema utama dakwah mereka. Bahkan dengan alasan itu mereka berani mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan terhadap amalan masyarakat yang "berbau agama" di mana fatwa-fatwa tersebut tanpa mereka sadari penuh tipu daya dan fitnah, dan dari sinilah masalahnya dimulai.

Keawaman masyarakat tentang agama telah memberi tempat yang cukup besar bagi mereka untuk menyebarkan paham Salafi dan Wahabi tersebut, sehingga semakin banyak pengikutnya, semakin kuat ekslusivisme mereka. Saat seorang muslim sudah tidak menganggap muslim yang lain sama dengan dirinya, dan saat ia sudah tidak merasa nyaman berkumpul bersama muslim yang tidak sepaham dengannya, maka mengasingkan diri dan mencari kumpulan orang-orang yang sepaham dengannya adalah jalan keluarnya. Itulah ekslusivisme; itulah kesombongan; dan itulah sumber perpecahan.

Lebih ekstrimnya lagi, ketika sudah merasa kuat, propaganda mereka jalankan dengan terang-terangan, bahkan tak jarang (dan ini terbukti) sampai pada perebutan atau penguasaan lahan dakwah seperti masjid, musholla, ta'lim di kantor-kantor, atau minimal merintis kumpulan pengajian tandingan baik di tempat-tempat tersebut maupun di rumah-rumah. Akibatnya, tanpa disadari mereka sudah menguasai sarana kegiatan dakwah di beberapa komplek perumahan, dan telah merebut anggota "jama'ah" pengajian para ustadz di wilayah setempat yang berbuntut pada terganggunya hubungan silaturrahmi antar anggota jama'ah tersebut.

Buku ini dibuat bukan untuk memperbesar jurang perpecahan tersebut, melainkan untuk memperbaiki keadaan yang tidak nyaman itu dan meluruskan apa yang seharusnya diluruskan dengan cara menyingkap kekeliruan-kekeliruan pemahaman kaum Salafi dan Wahabi yang sangat tersembunyi dan hampir tidak pernah disadari oleh para pengikutnya bahkan tokoh-tokoh ulamanya.

Di satu sisi, melalui buku ini kami berharap agar masyarakat awam yang belum terpengaruh dapat membentengi diri dari paham yang merusak silaturrahmi ini, di sisi lain kami juga sangat berharap agar orang-orang yang sudah mengikuti paham Salafi dan Wahabi dapat menyadari kekeliruannya lalu berusaha memperbaikinya, atau bahkan meninggalkannya. Itulah kenapa buku ini kami beri judul "MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI".

Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada kita untuk dapat melihat yang benar sebagai kebenaran dan memberikan kita kekuatan untuk mengikutinya, serta memperlihatkan yang batil sebagai kebatilan dan memberikan kita kekuatan untuk menjauhkan diri darinya. Kepada-Nya lah kami berserah diri, dan kepada-Nya lah kami kembali.

SEKILAS TENTANG SALAFI & WAHABI

Salafi atau Salafiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang dinisbatkan kepada Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H) atau yang sering dikenal dengan panggilan Ibnu Taimiyah. Salafi atau Salafiyah itu sering dipahami sebagai gerakan untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau.

Wahabi atau Wahabiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang dinisbatkan kepada pelopornya yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M-1787 M/ 1115 H-1206 H). sebetulnya, nama Wahabi ini tidak sesuai dengan nama pendirinya, Muhammad, tetapi begitulah orang-orang menyebutnya. Sedangkan para pengikut Wahabi menamakan diri mereka dengan al-Muwahhiduun (orang-orang yang mentauhidkan Allah), meskipun sebagian mereka juga mengakui sebutan Wahabi.

Kedua paham di atas, Salafi & Wahabi, sebenarnya memiliki hubungan tidak langsung yang cukup erat, yaitu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab adalah termasuk pengagum Ibnu Taimiyah dan banyak terpengaruh oleh karya-karya tulis Ibnu Taimiyah. Itulah mengapa kedua ajaran mereka memiliki kesamaan visi dan misi, yaitu "Kembali kepada Al-Qur'an & Sunnah Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau," sehingga apa saja yang "mereka anggap" tidak ada perintah atau anjurannya di dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau atsar Sahabat Nabi Saw., langsung mereka anggap sebagai bid'ah (perkara baru yang diada-adakan) yang diharamkan dan dikategorikan sebagai kesesatan, betapapun bagusnya bentuk suatu kegiatan keagamaan tersebut, dengan dasar hadis Nabi Saw. "… kullu bid'atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fin-naar" (setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan dimasukkan ke dalam Neraka). Dengan visi dan misi inilah maka para pengikut mereka di zaman ini menamai diri mereka dengan sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah (penganut Sunnah Nabi Muhammad Saw. & para Sahabat beliau) yang pada hakikatnya berbeda dari pengertian Ahlus-sunnah wal-Jama'ah yang dipahami oleh para ulama Islam di dunia (yaitu yang mempunyai hubungan historis dengan al-Asy'ari dan al-Maturidi ).

Visi "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta para Sahabatnya" tersebut telah mendorong mereka untuk melaksanakan sebuah misi "memberantas Bid'ah & Khurafat". Sekilas visi & misi itu terlihat sangat bagus, namun dalam prakteknya ternyata seringkali menjadi sangat berlebihan. Mengapa? Karena semua bid'ah & khurafat yang mereka anggap sesat dan wajib diberantas itu mereka definisikan sendiri tanpa mengkompromikan dengan definisi atau penjelasan para ulama terdahulu. Terbukti, pada masa hidupnya saja, baik Ibnu Taimiyah maupun Muhammad bin Abdul Wahab, sudah dianggap "aneh" bahkan cenderung dianggap sesat ajarannya oleh para ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang keseluruhannya menganut paham ahlus-Sunnah wal-jama'ah.

Hal itu terjadi karena Ibnu Taimiyah kerapkali mengeluarkan fatwa-fatwa ganjil mengenai aqidah atau syari'at yang menyelisihi ijma' para ulama, sehingga ia sering ditangkap, disidang, dan dipenjara, sampai-sampai ia wafat di dalam penjara di Damaskus. Dan tercatat ada 60 ulama besar (baik yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya) yang menulis pembahasan khusus untuk mengungkap kejanggalan dan kekeliruan pada sebagian fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah dalam begitu banyak karyanya (lihat al-Maqaalaat as-Sunniyyah karya Syaikh Abdullah al-Harary).

Sedangkan Muhammad bin Abdul Wahab yang datang belakangan jauh lebih beruntung. Ia didukung oleh seorang Raja yang berhasil menguasai Mekkah (Hijaz) yang bernama Muhammad bin Sa'ud atau lebih dikenal dengan Ibnu Sa'ud (penaklukan Hijaz ke-I th. 1803-1813 M, penaklukan ke-II th. 1925 M masa Raja Abdul Aziz bin Sa'ud dengan bantuan Inggris sampai sekarang). Itulah mengapa Mekkah, Madinah dan sekitarnya sekarang dikenal dengan "Saudi"/Sa'udi Arabia (dinisbatkan kepada Ibnu/bin Sa'ud atau Aalu Sa'ud/keluarga Sa'ud). Dengan dukungan kekuasaan dan dana dari Raja Ibnu Sa'ud itulah maka ajaran Wahabi menjadi paham wajib di Saudi Arabia, dan menyebar luas sekaligus membuat resah umat Islam di negeri-negeri yang lain.

Mengapa Wahabi dianggap meresahkan? Karena fatwa-fatwa ulama Wahabi tentang bid'ah dan khurafat yang disebarluaskan itu seringkali berbenturan dengan adat istiadat atau tradisi keagamaan umat Islam di masing-masing negeri, padahal tradisi mereka itu telah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan telah dijelaskan kebolehan atau keutamaannya oleh para ulama ahlus-Sunnah wal-jama'ah. Tradisi keagamaan yang sering dianggap bid'ah dan sesat itu di antaranya: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan kematian, do'a dan zikir berjama'ah, ziarah kubur, tawassul, membaca al-Qur'an di pekuburan, qunut shubuh, dan lain sebagainya yang masing-masing memiiki dasar di dalam agama. Jelasnya, keresahan itu muncul karena fatwa-fatwa para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) tersebut bertentangan dengan fatwa-fatwa mayoritas ulama yang dijadikan pedoman oleh mayoritas umat Islam di dunia. Akibatnya mereka menjadi seperti orang usil yang selalu menyalahkan dan mempermasalahkan amalan orang lain, lebih dari itu bahkan mereka menganggap sesat orang yang tidak sejalan dengan Wahabi.

(Untuk lebih jelas, baca "I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah" karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta. Juga baca "Maqaalaat as-Sunniyyah fii Kasyfi Dhalaalaati Ibni Taimiyah", karya Syaikh Abdullah al-Harary, diterbitkan oleh Daarul-Masyaarii' al-Khairiyyah, Libanon).

Ajaran Salafi Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh murid-muridnya, di antara yang paling dikenal adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Sedangkan ajaran Wahabi disebarluaskan oleh para ulama Wahabi yang diakui di Saudi Arabia, yang paling dikenal di antaranya adalah: Nashiruddin al-Albani, Abdul Aziz bin Baz, Shalih al-Utsaimin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, dan lain-lain. Namun begitu, kita berusaha bersikap proporsional dalam menyikapi ajaran yang mereka sampaikan. Artinya, apa yang baik dan sejalan dengan pendapat para ulama mayoritas maka tidak kita kategorikan ke dalam penyimpangan atau kesesatan.

Perlu diketahui, bahwa meskipun dasar kemunculannya berbeda, namun belakangan Salafi & Wahabi seperti satu tubuh yang tidak bisa dibedakan, yaitu sama-sama memandang sesat atau bid'ah terhadap acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan kematian, ziarah kubur, tawassul, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, berdo'a & berzikir berjama'ah, bersalaman selesai shalat berjama'ah, membaca al-Qur'an di pekuburan, berdo'a menghadap kuburan, dan lain sebagainya. Dan boleh dikatakan, bahwa Salafi & Wahabi sekarang sudah menjadi mazhab tersendiri yang lebih ekstrim dalam berfatwa ketimbang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab sendiri.

Di Indonesia, fatwa-fatwa Salafi & Wahabi banyak disebarluaskan oleh para mahasiswa atau sarjana yang sebagian besarnya adalah alumni Perguruan Tinggi di Saudi Arabia atau mereka yang mendapat beasiswa di lembaga pendidikan Saudi Arabia. Di samping itu, paham Wahabi juga disebarluaskan melalui buku-buku terjemahan, yang kini menghiasi berbagai toko buku atau stan-stan pameran buku. Bahkan, buku–buku mereka juga dibagi-bagi secara gratis, baik melalui Atase Kedubes Saudi Arabia, maupun lembaga pendidikan Saudi Arabia seperti LIPIA atau yang lainnya. Buku-buku seperti itu juga dibagikan kepada semua Jama'ah Haji secara gratis setiap tahunnya, akibatnya sebagian mereka mengalami perang batin dalam menimbang-nimbang kebenaran.

Di samping melalui buku-buku dan forum-forum kajian keagamaan, fatwa-fatwa Wahabi & Salafi juga disebarluaskan melalui siaran radio, seperti: Radio Dakta Bekasi (FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4 Mhz).

Di Indonesia juga terdapat ormas-ormas Islam yang prinsip dasar atau metodologi ajarannya sama atau hampir sama dengan Salafi & Wahabi seperti Muhammadiyah, PERSIS, Al-Irsyad, PUI (Persatuan Umat Islam), Paderi, Sumatra Tawalib, dan lain-lain (lihat Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, jilid 4, hal. 205), hanya saja ada sebagian yang tidak seekstrim mereka. Tetapi kadang sebagian anggota ormas-ormas itupun memiliki sikap ekslusivisme yang sama dengan Salafi & Wahabi, sehingga dalam kajian ini penulis tidak memisahkan mereka sebagai kelompok tersendiri, dan menganggapnya sejenis dengan kaum Salafi & Wahabi jauh lebih layak untuk sebuah pemahaman agama dengan ciri yang sama, entah sebagian ciri atau keseluruhannya.

Dalam kajian ini kami tidak ingin berpanjang kalam tentang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab, menimbang keperluannya yang tidak terlalu urgen dalam pembahasan ini.. Sebab sepertinya, para pengikut mereka sekarang sudah lebih independen dalam berijtihad dan berfatwa mengenai perkara-perkara baru yang mereka anggap bagian dari agama yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.. Bahkan dalam beberapa hal mereka tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab. Hal ini menunjukkan bahwa kaum Salafi dan Wahabi sekarang ini hanya mengambil motto utama yang sangat global dari Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu "kembali kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan Sunnah para Shahabat beliau", sedang dalam perkara-perkara detailnya mereka cenderung pilih-piih.

Itulah kenapa konsentrasi pembahasan ini lebih pada fatwa-fatwa ulama Salafi dan Wahabi, di mana fatwa-fatwa itulah yang sering menjadi sumber masalah bagi kerukunan hidup beragama antar umat Islam.

APA YANG SALAH, DENGAN "KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN & SUNNAH"?

Telah disebutkan di atas, bahwa kaum Salafi & Wahabi memiliki motto "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah". Mereka juga mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur'an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah Saw., sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya?

Sampai di sini mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama di zamannya? Mengapa pula paham Salafi & Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur'an dan Sunnah dianggap menyimpang bahkan divonis sesat??! Rasanya, hanya orang gila yang berani menyatakan begitu.

Tetapi, mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat "sumber masalah" yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut.

  1. Prinsip "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur'an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur'an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang 'alim

yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku "terjemah" al-Qur'an atau Sunnah. Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah, dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah", mereka merasa benar dengan caranya sendiri. Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur'an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid'ah.

  1. Al-Qur'an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa' (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama'ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur'an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai "ahludz-dzikr", yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini. Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut kebodohan. Jadi kaum Salafi & Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" secara langsung, tetapi juga "kembali kepada pendapat para ulama salaf" secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
  2. Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur'an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah "hasil jadi". Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur'an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw. & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara' (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan "makanan siap saji" yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran "pendapat" manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari'at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.

Seandainya tidak demikian, mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah "mencemarkan agama", lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi & Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-Qur'an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan "pemurnian agama".

Sesungguhnya, "pencemaran" yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan, sedangkan "pemurnian" yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur'an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap al-Qur'an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur'an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid'ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah Saw., padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur'an dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (hadis)nya.

Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur'an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah.




SUMBER ARTIKEL : http://www.sufibetawi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=161:bab-1-menyingkap-tipu-daya-a-fitnah-keji-fatwa-fatwa-kaum-salafi-a-wahabi&catid=58:kitab&Itemid=109

BAB 2. KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL

Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur'an 2. Sunnah 3. Ijma' 4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur'an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma' (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur'an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur'an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).

Digunakannya ijma' dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur'an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur'an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?

Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur'an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur'an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.

Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur'an atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.

Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad atau ta'wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma' dan qiyas tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur'an) maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai "pendapat manusia" yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi'I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.

Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka "kasuistik", artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur'an atau hadis secara khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk "tidak membolehkan" perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.

Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut "dalil khusus".

Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid'ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir "dalil umum".

Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid'atin dhalalah (setiap bid'ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan "perkara baru", sehingga tidak sah bila kata bid'ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.

Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah, tentunya karena pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur'an atau hadis.

Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid'ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku "Ensiklopedia Bid'ah" karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.

Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu'/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari'at atau menetapkan syari'at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.

Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta'wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari'at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur'an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur'an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.

Di sinilah pangkalnya, kenapa kaum Salafi & Wahabi selalu mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah masalah furu' (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya, sehingga semua urusan dan amalan "berbau agama" dipandang oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip) yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.

Padahal, untuk menentukan hukum sesat, syirik, atau kufur, mereka harus mendatangkan dalil-dalil yang pasti dan secara jelas menyebut demikian. Nyatanya, mereka malah menggunakan dalil-dalil umum. Dalil-dalil larangan bid'ah yang sangat diandalkan oleh kaum Salafi & Wahabi itulah yang akan kita bahas secara tuntas dalam buku/film dakwah ini, agar setiap orang dapat menilainya secara obyektif. Dan bila diklasifikasikan, maka dalil-dalil tersebut dapat kita kategorikan menjadi:

  1. Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur Rasyidin)
  2. Dalil perintah & larangan
  3. Dalil sesatnya setiap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan di dalam agama)

1. Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur Rasyidin)

Kaum Salafi & Wahabi sering mengajukan dalil tentang perintah mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau dalam rangka mengharamkan bid'ah yang mereka tuduhkan. Dalil yang paling jelas adalah hadis Rasulullah Saw. berikut ini:

عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِيْ اخْتِلاَفاً شَدِيْدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه)

"Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) meskipun ia seorang budak hitam. Dan kalian akan melihat perselisihan yang sangat setelah aku (tiada nanti), maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa' rasyidin mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham (berpegang teguhlah padanya), dan jauhilah perkara-perkara muhdatsat (hal-hal baru dalam agama), sesungguhnya setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Ibnu Majah. Hadis senada diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Di dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw. menyebutkan:

... وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (رواه الترمذي)

"… dan akan terpecah umatku kepada 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Mereka (shahabat) bertanya, "siapakah itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu yang aku dan para shahabatku berada di atasnya" (yang mengikuti jalanku dan para shahabatku-red) (HR. Tirmidzi).

Perintah mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para Khulafa'ur-Rasyidin itu tidak disangsikan kebenaran dan keutamaannya. Hanya dengan cara itulah kita dapat menjalani kehidupan dengan selamat di dunia dan di akhirat. Hal itu bukan saja karena Rasulullah Saw. dan para shahabat merupakan figur-figur teladan di dalam ketaatan terhadap agama, tetapi juga karena Allah sendiri telah memberikan mereka keutamaan secara khusus di dalam al-Qur'an.

Kaum Salafi & Wahabi lantas menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai batasan bagi definisi bid'ah, sekaligus sebagai pembatasan sumber rujukan umat dalam memahami agama. Artinya, apa yang tidak pernah dikerjakan atau dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat dalam urusan agama, baik prinsip maupun formatnya, langsung mereka golongkan ke dalam kategori bukan "sunnah/jalan Rasulullah Saw. dan para shahabatnya" alias bid'ah dan kesesatan. Ini tampak jelas dalam definisi bid'ah yang mereka buat dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.

Pada perkembangannya, mereka memberikan ruang lebih luas bagi umat Islam untuk mengikuti juga orang-orang yang hidup di masa setelah shahabat, yaitu para tabi'in yang kemudian disebut dengan generasi salaf. Hal ini disimpulkan dari sabda Rasulullah Saw:

خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري)

"Sebaik-baik umatku adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang sesudah mereka, kemudian masa orang-orang sesudah mereka" (HR. Bukhari)

Pada hadis di atas disebutkan 3 masa terbaik (sejak masa Rasulullah sampai + masa 300 H. atau masa tabi'in) dari kehidupan umat Rasulullah Saw. yang kemudian disebut dengan generasi salaf (terdahulu), dan kaum Salafi & Wahabi menjadikan generasi salaf tersebut sebagai sumber rujukan yang mutlak dalam beragama. Itulah mengapa mereka merasa lebih utama dari selain golongan mereka dan dengan bangga menamakan diri dengan "Salafi" (pengikut generasi salaf).

Tidak ada yang salah dengan tekad mereka mengikuti generasi salaf, sepanjang mereka tidak menganggap bahwa setelah masa generasi salaf itu tidak ada lagi kebaikan yang pantas dijadikan teladan atau rujukan bagi umat dalam urusan agama. Permasalahannya bermula saat kaum Salafi & Wahabi seperti membatasi kebenaran dan kebaikan hanya ada pada generasi salaf tersebut (generasi umat Islam yang hidup antara masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in) dan tidak ada lagi setelahnya, lalu mengobarkan semangat kembali kepada ajaran salaf bulat-bulat tanpa melihat mata rantai ulama pewaris mereka yang juga telah menghasilkan kebaikan-kebaikan untuk umat.

Mari kita kembali kepada permasalahan dalil. Pada dalil-dalil tersebut di atas, terdapat isyarat-isyarat yang sepertinya tidak dipahami dengan jelas oleh kaum Salafi & Wahabi, dan hal ini sekaligus menunjukkan kekeliruan-kekeliruan mereka dalam mengambil kesimpulan, yaitu:

1. Khulafa'ur-Rasyidin al-Mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk) sering dimengertikan sebatas 4 khalifah setelah Rasulullah Saw., yaitu: Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khattab Ra., Utsman bin 'Affan Ra., dan Ali bin Abi Thalib Ra. padahal Rasulullah Saw. tidak menyebutkan demikian kecuali hanya isyarat-isyarat saja. Di dalam riwayat Abu Dawud, Sufyan ats-Tsauri (ulama salaf) menambahkan Umar bin Abdul Aziz ke dalam lingkup khulafa' tersebut sehingga jumlahnya menjadi 5. Ini menunjukkan bahwa pengertian Khulafa'ur-Rasyidin memang tidak ada kepastiannya kecuali hanya merupakan ijtihad dari para ulama karena melihat isyarat dari dalil-dalil yang ada serta karena memperhatikan keutamaan-keutamaan yang ada pada pribadi mereka. Dan itu tidak menutup kemungkinan adanya pengertian lain tentangnya.

Salah satunya adalah seperti yang disebutkan oleh as-Sindi ketika menjelaskan hadis tersebut di dalam Sunan Ibnu Majah,

قيل هم الأربعة وقيل بل هم ومن سار سيرتهم من أئمة الإسلام المجتهدين في الأحكام فإنهم خلفاء الرسول عليه الصلاة والسلام في إعلاء الحق وإحياء الدين وإرشاد الخلق إلى الصراط المستقيم

"Dikatakan mereka itu (khulafa'ur-Rasyidin) adalah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali), dan dikatakan bahkan mereka itu adalah khalifah yang empat dan siapa saja yang menempuh jejak mereka dari para Imam (pemimpin) Islam yang berijtihad (mujtahidin) dalam hal hukum, maka sesungguhnya mereka itu adalah khulafa'ur-Rasul (pengganti Rasulullah Saw.) yang meninggikan kebenaran, menghidupkan agama, dan membimbing umat kepada jalan yang lurus."

Secara obyektif, kita memang tidak melihat pembatasan makna khulafaur-Rasyidin pada dalil-dalil yang ada, dan bahwa kata khalifah (jamak: khulafa') tidak selalu diartikan sebagai pemimpin atau penguasa, tetapi ia secara mendasar dapat diartikan "pengganti" bila dilihat dari asal katanya. Maka, khulafa'ur-Rasyidin al-Mahdiyyin itu tidak hanya 4 khalifah tersebut atau tidak terbatas hanya di tingkat shahabat saja, melainkan dapat berlaku bagi generasi selanjutnya sampai hari kiamat bagi siapa yang memenuhi kriteria rasyidin (lurus) dan mahdiyyin (mendapat petunjuk) sehingga pantas disebut sebagai khalifah (pengganti/penerus) bagi panutan yang sebelumnya.

2. Pengertian kata Sunnah pada hadis-hadis di atas sangat umum, artinya bukan saja menyangkut format/bentuk tertentu dari perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang dikaitkan kepada Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, tetapi juga termasuk isyarat, prinsip dasar baik-buruk yang mereka pertimbangkan, dan cara memandang atau menyelesaikan masalah, yang semua itu dapat terus digunakan rumusannya sebagai acuan untuk menetapkan hukum pada perkara-perkara masa depan yang tidak ada format/bentuknya di masa para shahabat tersebut.

Di sinilah terdapat hikmah pada penyebutan sunnatil-khulafa' ar-Rasyidin (sunnah/jalannya para khalifah yang lurus). Sebagaimana disebut di dalam Tuhfatul-Ahwadzi bi Syarhi Jami' at-Tirmidzi, Imam asy-Syaukani menjelaskan:

إذا كان ما عملوا فيه بالرأي هو من سنته لم يبق لقوله "وسنة الخلفاء الراشدين" ثمرة.

Jika apa yang mereka (Khulafa'ur-Rasyidin/para shahabat) lakukan dengan pendapat akalnya (dianggap) itu termasuk sunnah Rasulullah Saw., maka tidak akan tersisa tsamrah (buah/faidah) pada ucapan beliau "sunnah khulafa'ur-Rasyidin".

Ya, jika para shahabat itu hanya mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Saw., cukuplah itu disebut juga sebagai sunnah Rasulullah Saw. Tentunya penyebutan sunnah khulafa'ur-Rasyidin secara khusus menunjukkan kondisi mandiri di saat para shahabat tidak menemukan contoh atau dalil dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw., maka mereka berijtihad untuk menentukan hukum sendiri dengan berpegang pada prinsip-prinsip dasar atau isyarat dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw. tersebut. Hasil ijtihad inilah yang secara mandiri disebut sebagai sunnah khulafa'ur-Rasyidin atau sunnah shahabat, dan cara berijtihad yang mereka jalani itu sah dan dapat ditiru oleh orang-orang setelah mereka di saat tidak menemukan contoh atau dalil dari sunnah (hasil ijtihad) para shahabat tersebut.

Otoritas terciptanya sunnah (hasil ijtihad) semacam itu ditunjukkan oleh riwayat hadis Rasulullah Saw. saat melepas kepergian Mu'adz bin Jabal Ra. ke Yaman, di mana beliau bertanya, "Dengan apa engkau menetapkan hukum?" Mu'adz menjawab, "Dengan Kitab Allah (al-Qur'an)." Rasulullah Saw. bertanya, "Bila tidak engkau temukan (di Kitab Allah)?" Mu'adz menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah." Rasulullah Saw. bertanya, "Jika tidak engkau temukan (di Sunnah Rasulullah)?" Mu'adz menjawab, "Aku berijtihad dengan pendapatku." Maka Rasulullah Saw. berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul-Nya."

Penyebutan suatu amalan atau ketetapan sebagai suatu sunnah juga ditunjukkan oleh hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi "Man sanna fil-Islam sunnatan hasanatan…"(siapa yang menetapkan di dalam Islam suatu sunnah/ketetapan/kebiasaan yang baik …), dan penyebutan sunnah ini tidak terbatas hanya pada amalan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau saja. Terbukti bahwa hadis tersebut juga menyebut adanya sunnah sayyi'ah (sunnah/ketetapan/kebiasaan yang buruk) yang tidak mungkin dialamatkan kepada Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau. Lengkapnya hadis Rasulullah Saw. tersebut berbunyi:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)

"Barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah sayyi'ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas dia dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun" (HR. Muslim)

لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ِلأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ (رواه مسلم)

"Tidaklah dibunuh satu orang secara zhalim, melainkan anak Adam yang pertama (Qabil) mendapat dosa dari (penumpahan) darah orang itu, karena ia adalah orang yang pertama mensunnahkan (membuat/menetapkan) pembunuhan" (HR. Muslim)

Bila kaum Salafi & Wahabi menafsirkan kata "sanna sunnatan hasanatan" di atas dengan makna "menghidupkan sunnah yang baik" dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. yang telah ditinggalkan orang karena melihat asbab wurud (latar belakang dikeluarkannya hadis tersebut) yaitu berkenaan dengan sedekah, maka tafsiran itu sungguh keliru dan sangat menyimpang. Sebab kata "sanna" artinya "membuat, meletakkan, menetapkan", dan untuk makna "menghidupkan" ada kata "ahyaa" yang jelas disebut di dalam riwayat hadis lain.

Kejanggalan tafsiran mereka akan lebih terlihat lagi bila dihubungkan dengan ungkapan "sanna sunnatan sayyi'atan" pada lanjutan hadis tersebut, yang bila diartikan menurut pemahaman mereka "menghidupkan sunnah yang buruk" dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. Dengan begitu kita akan bertanya, apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau mengajarkan keburukan yang juga harus ditiru oleh umatnya??!

3. Bila lingkup rujukan agama hanya dibatasi pada generasi salaf saja (dari masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in + 300 H.), lalu para ulama setelah mereka dianggap tidak memiliki otoritas untuk menjelaskan agama atau untuk mengijtihadkan hukum, terutama tentang perkara-perkara yang tidak ada di masa salaf tersebut, maka hal ini berarti pengingkaran dan pendustaan terhadap hadis Rasulullah Saw. tentang akan datangnya ulama mujaddid (pembaharu) yang akan diutus oleh Allah pada setiap akhir masa satu abad (100 tahun). Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw. berikut ini:

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)

"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).

Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ

"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka."

Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau saja atau para ulama salaf saja, tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa yang diakui keluasan ilmunya. Artinya, memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui pemahaman dan penjelasan para ulama tersebut adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah rahasia kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau dan sangat berbeda kualitas keimanannya dibandingkan para shahabat atau para tabi'in. Dan kita yakin, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu Allah, dan ini bisa dikatakan sebagai salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.

Otoritas penjelasan ulama di setiap generasi dalam berijtihad (di antaranya ijtihad tentang pembagian bid'ah menjadi dua: Hasanah & sayyi'ah) legalitasnya tidak hanya ditunjukkan oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah Saw. secara umum menyebut mereka sebagai "Pewaris Para Nabi" sebagaimana sabdanya:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي وأبو داود وابن ماجه وأحمد وغيرهم)

"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil (mengupayakan)nya, berarti ia telah mengambil bagian yang sangat banyak" (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).

Bila ditanyakan, ulama yang manakah yang termasuk kategori mujaddid atau yang pantas mendapat label "pewaris para nabi" itu? Nama-nama para mujaddid dan para ulama yang terkenal seperti berikut ini dapat dikategorikan ke dalam golongan "pewaris para nabi" sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan mereka, yaitu : Khalifah Umar bin Abdul Aziz (mujaddid abad ke-I), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'I (mujaddid abad ke-II), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abul Hasan Asy'ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi'I, Imam abul-'Abbas bin Suraij (Mujaddid abad ke-III), Imam Sahl ash-Sha'luki (mujaddid abad ke-IV), Imam Ghazali (mujaddid abad ke-V), Imam Fakhruddin ar-Razi (mujaddid abad ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid abad ke-VII), dan para ulama lain yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.

Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa mengikuti Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau secara umum tidak terbatas pada format/bentuk amalan yang mereka lakukan di masa itu saja (kecuali ibadah mahdhah seperti: shalat, puasa, zakat, atau lainnya), tetapi juga pada cara-cara mereka berijtihad, berinovasi, dan berkreasi untuk menetapkan atau menciptakan "sunnah hasanah" (ketetapan/kebiasaan yang baik) yang secara jelas telah diketahui kebaikan dan maslahatnya di dalam pandangan agama.

Berinovasi dan berkreasi dalam kebaikan adalah suatu kebutuhan, terlebih lagi di zaman-zaman belakangan di mana umat Islam sudah semakin rendah kualitas keberagamaannya dan kurang perhatian terhadap ajaran agama. Tentu landasannya bukan karena ingin membikin-bikin syari'at baru, bukan pula untuk menambah-nambah agama, karena batasan-batasan antara perkara pokok atau ibadah di dalam agama dengan amalan kebajikan yang universal adalah jelas, tidak mungkin hal itu diabaikan oleh para ulama. Lagi pula, dalam hal ini mereka tetap mendasarinya dengan dalil-dalil yang secara implisit atau eksplisit mengisyaratkan kebolehannya, bukan dengan dorongan hawa nafsu sebagaimana dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi. Keprihatinan mereka terhadap keadaan umat lah yang membuat mereka perlu melakukan inovasi itu.

Fenomena menganggap baik dan mengamalkan bahkan menganjurkan kegiatan-kegiatan berbau agama seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., zikir berjamaah, tahlilan, ziarah kubur orang shalih, dan lain sebagainya adalah gambaran jelas dari upaya para ulama dalam memelihara kebaikan hidup umat Islam, sekaligus dalam rangka membuka peluang-peluang mendapat rahmat dan hidayah untuk mereka. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, entah sengaja atau tidak sengaja, umat terhitung melakukan kebaikan berupa: Zikir kepada Allah, bershalawat kepada Rasulullah Saw., silaturrahmi, mendengarkan nasihat dari ulama, dan berbagi rezeki antar sesama, dan kebaikan-kebaikan ini jelas ada dalilnya di dalam agama.

Luar biasanya, para ulama yang tawadhu' itu hanya menyebut kegiatan-kegiatan tersebut sebagai bid'ah hasanah, padahal Rasulullah Saw. jelas-jelas menyebut kebiasaan baik yang semacam itu sebagai sunnah hasanah. Mengapa demikian? Kemungkinan alasannya adalah agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam pengertian sunnah; satu sisi (sebagaimana telah ditetapkan definisi khususnya oleh para ulama hadis) sunnah sebagai peninggalan Rasulullah Saw. berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat; sisi lain (sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama Fiqh) sunnah sebagai hukum amalan ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa; satu sisi lagi (sebagaimana pengertian hadis di atas) sunnah sebagai ketetapan atau jalan yang menjadi contoh atau kebiasaan yang ditiru orang lain.

Jadi, apa saja yang oleh para ulama dikategorikan sebagai bid'ah hasanah sebenarnya adalah sunnah hasanah. Menolak adanya kategori bid'ah hasanah berarti juga secara tidak langsung menolak adanya kategori sunnah hasanah. Pada poin ini, kaum salafi & wahabi (dengan pandangan mereka membatasi kebaikan & kebenaran agama hanya ada pada generasi ulama salaf, dan dengan sikap penolakan mereka terhadap adanya bid'ah hasanah) bisa dianggap telah mencampakkan dua hadis Rasulullah Saw. (entah karena tidak mengerti atau karena tidak sengaja), yaitu: Hadis mengenai akan datangnya ulama mujaddid pada akhir setiap masa seratus tahun, dan hadis tentang adanya sunnah hasanah yang tidak terbatas pada Rasulullah Saw. dan para shahabat saja.

2. DALIL PERINTAH & LARANGAN

Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama hanya ada di antara dua kategori, yaitu:

1. Yang diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur'an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau.

2. Yang dilarang, yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw.

Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah:

" Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr: 7)

Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang fai' (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran asalnya adalah "apa yang diberikan Rasul (dari harta fai') kepadamu maka terimalah dia" (lihat Tafsir Jalalain). Tetapi para mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan "apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia" dengan makna "apa yang diperintahkan Rasul …" berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat hadis yang mendukung makna tersebut.

Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus.

Dalil lain yang mereka ajukan adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian" (HR. Bukhari).

Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau yang diperintahkan secara pasti.

Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah & larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah mengikuti sunnah & larangan melakukan bid'ah. Pengarahan konteks tersebut sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula --terutama mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid'ah seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan & minuman yang diharamkan.

Kategori Ketiga

Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu "yang tidak diperintah juga tidak dilarang" sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan ungkapan "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian". Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah "Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu."

Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah", ada seorang yang bertanya, "apakah setiap tahun ya Rasulullah?". Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, "Bila aku jawab ' ya' maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu". Kemudian beliau bersabda ,"Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian".

Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada "yang diperintah" atau kepada "yang dilarang" tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.

Tetapi sayangnya, kategori ini mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu "yang dilarang". Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil:

"… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS. An-Nuur: 63)

Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat "menyalahi" atau menyelisihi perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah "melakukan apa yang tidak diperintahkan".

Bila melakukan "yang tidak diperintahkan" adalah terlarang semata-mata karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan pelanggaran yang sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi, karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid, menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw.

Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan itu tertolak" (HR. Bukhari).

Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai "laysa 'alaihi amrunaa" dengan arti "yang tidak ada perintah kami atasnya". Kata "amr" memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata "amara - ya'muru" yang berarti "memerintahkan". Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf "'alaa" (atas), maka artinya adalah "menguasai". Jadi, bila kalimat "amara 'alaa" berarti "menguasai", maka kalimat "amarnaa 'alaihi" berarti "kami menguasainya", maka kalimat "amrunaa 'alaihi" atau "'alaihi amrunaa" amat janggal bila diartikan "perintah kami atasnya". Karena untuk arti "perintah", kata "amara" lebih tepat diiringi huruf "bi" (dengan), seperti firman Allah ta'ala: "Innallaaha ya'muru bil-'adli" (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil).

Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw. adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid'ah, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama'ah, do'a berjama'ah, zikir berjama'ah, membaca al-Qur'an di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau ketertolakannya.

Kata amr pada "amrunaa" di dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah "urusan (agama) kami". Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, "Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak". Seandainya pun kata "amrunaa" diartikan sebagai "perintah kami" dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu "amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami", bukan " yang tidak ada perintah kami atasnya ". Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)

"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim).

"Tidak sesuai perintah" mengandung pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan. Sedangkan "tidak tidak ada perintah kami atasnya " mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa "melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala". Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid'ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit?

Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai "amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami" juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus.

Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara "yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang), sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian" sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai "rahmat" dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)

"Sesungguhnya Allah ta'ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).

Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan "Ia telah mendiamkan beberapa hal" tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang "mewajibkan", "menetapkan batasan", dan "mengharamkan". Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta'ala ”mendiamkan beberapa hal" maka itu artinya "Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan". Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.

Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya sebagai "rahmat"??!

Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan "maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" adalah larangan yang khusus pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari'atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang "rahmat" sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum "boleh" atau "tidak"nya suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut.

Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya "rahmat" akan tetap dianggap "rahmat" sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara "perkara baru di dalam ajaran agama" dan "perkara baru yang berbau agama".

Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama "perkara baru di dalam ajaran agama" dengan "perkara baru yang berbau agama", dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid'ah sesat dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat "rahmat" yang ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana "rahmat" yang ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta dan pemuliaan terhadap beliau.

Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap "rahmat" yang Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang membacakan al-Qur'an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk, tentang berzikir atau berdo'a berjama'ah, tentang do'a qunut pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata "tidak ada dalilnya" atau "tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabatnya".

Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut:

كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا

"Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan" (Prof. TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya "Kriteria Antara Sunnah dan Bid'ah", dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah karya Hammud bin Abdullah al-Mathar).

Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita memahami pengertian "ibadah" tersebut melalui penjelasan yang tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:

اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ

"Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)"

atau dalam kaidah lain, "Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada

dalil yang menyuruhnya."

Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh hal-hal tersebut seperti: Do'a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak mungkin.

Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo'a harus dengan kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain; dan khutbah jum'at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya?

Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat terbatasi oleh larangan bid'ah yang tidak jelas akan menjadi sangat membosankan.

Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra' & Mi'raj, tahlilan, zikir berjama'ah, rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya'ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi'in.

Hasilnya, syi'ar Islam jadi semarak, dan umat Islam terpelihara keimanannya dengan banyaknya kegiatan keislaman di setiap waktu dan tempat di mana mereka dapat sering bertemu dengan para ulama dan orang-orang shaleh yang lama-kelamaan menjadi figur dan idola di hati mereka.

3. Dalil sesatnya setiap bid'ah

Menyangkut bid'ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)

"Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Muslim).

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)

"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka" (HR. Nasa'i).

Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid'ah.

Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan. Sedangkan bid'ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid'ah dengan ungkapan:

كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

"Apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya".

Dari pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid'ah secara bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti: Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar hadis Rasulullah Saw.:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)

"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim).

Kaum Salafi & Wahabi menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid'ah di atas sebagai dalil yang mencakup semua hal "berbau agama" atau "berbau ibadah" yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berarti bid'ah. Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin' Donut membuat donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa, maka ia telah melakukan bid'ah.

Yang demikian karena mereka mendefinisikan bid'ah dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.

Agaknya pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika menyebutkan "setiap bid'ah adalah kesesatan", Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau sudah melakukannya. Benarkah begitu?

Mari kita teliti pemahaman kaum Salafi & Wahabi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yaitu:

1. Hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut bersifat umum, artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena banyak perkara baru "berbau agama" yang tidak mungkin dianggap sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf lalu mencetak dan memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan lain sebagainya.

Bila Rasulullah Saw. tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di masa hidupnya lalu menyatakan, "inilah agama. Apa saja dan bagaimana saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak". Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya:

... لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ ...(رواه البخاري)

"Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …"(HR. Bukhari)

2. Hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut bukanlah hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan, melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau pemahaman tentang maksud "sesatnya" muhdatsat dan bid'ah yang sesungguhnya.

Contohnya seperti riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do'a I'tidal dengan bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat tentang cara membaca al-Qur'an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan 'Ammar dengan mencampur ayat pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalat masbuq yang dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya dengan inisiatif/ijtihad sendiri tetapi Rasulullah Saw. malah membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur'an dalam satu mushaf, juga riwayat tentang pelaksanaan bid'ah shalat tarawih di masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama.

Kaum Salafi & Wahabi seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut, tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid'ah yang sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid'ah sebagai kesesatan tanpa kecuali.

Mereka menolak pendapat para ulama yang membagi bid'ah menjadi dua, bid'ah dhalalah/sayyi'ah (bid'ah yang sesat/buruk) dan bid'ah hasanah/mahmudah (bid'ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat para ulama yang mengkategorikan bid'ah secara hukum menjadi lima (wajibah, mandubah, makruhah, mubahah, muharramah).

Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid'ah menjadi dua, yaitu: bid'ah diniyyah/syar'iyyah (bid'ah agama/syari'at) dan bid'ah duniawiyah (bid'ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid'ah diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya menjadi dua: yaitu bid'ah I'tiqadiyah (bid'ah aqidah) dan bid'ah 'amaliyah (bid'ah amalan), ada juga yang membaginya lagi menjadi dua, yaitu: Bid'ah mukaffirah (bid'ah yang menyebabkan kafir) dan bid'ah ghairu mukaffirah (bid'ah yang tidak menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid'ah mukaffirah, bid'ah muharramah, bid'ah makruhah tahrim, dan bid'ah makruhah tanzih (lihat Ensiklopedia Bid'ah, Hammud Abdullah al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid'ah-bid'ah yang Dianggap Sunnah, Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4).

3. Perkara baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan sekalipun. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja (kecuali format ibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu baik.

Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan ash-Shun'ah fii tahqiq ma'na al-Bid'ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam Syafi'I berkata:

كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به

"Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-red) " (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).

4. Definisi bid'ah yang dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Sebab, Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi tentang bid'ah seperti yang mereka buat, yaitu: "”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal". Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi, "Perkara baru di dalam agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau." Mereka juga mengklasifikasi bid'ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di atas). Jadi, mereka menolak bid'ah, tapi mereka sendiri melakukan bid'ah. Aneh, kan?!

Sebagian kalangan dari kaum Salafi & Wahabi ada yang tidak mau menerima pendapat tentang pengklasifikasian bid'ah (syar'iyyah & duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena ingin konsisten berpegang pada hadis "Setiap bid'ah adalah kesesatan", atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan karena di satu sisi menolak pembagian bid'ah kepada hasanah & sayyi'ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar'iyyah & duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga dianggap bid'ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan mushaf al-Qur'an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid'ah, melainkan termasuk dalam mashlahat mursalah (kemaslahatan umum).

Mereka juga berdalih bahwa apa saja yang dapat menjadi sarana untuk melaksanakan perintah hukumnya juga diperintah, bukanlah bid'ah, meskipun sarana itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw., karena "sarana dihukumi menurut tujuannya" (lilwasaa'il hukmu al-maqashid), sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Jadi, membangun sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu syari'at yang diperintahkan di dalam agama (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 29-30).

Kalau begitu, kenapa mereka tidak bisa melihat bahwa acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau kegiatan tahlilan dan istighatsah yang tidak ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu sebagai maslahat umum (maslahat mursalah) sekaligus sarana untuk melaksanakan perintah di dalam agama seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur'an, bershalawat kepada Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo'a, berbagi rezeki atau sedekah, dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh. Bukankah semua amalan itu jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk mewujudkan pelaksanaan perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang diperintahkan itu boleh berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan keagamaan seperti itu mengandung maslahat dalam menjaga kualitas keimanan dan ketaatan, lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa Rasulullah Saw.?

5. Bila segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur'an dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk apa beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid (pembaharu) yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)

"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).

Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ

"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka."

Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau. Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.

Dari sekian nama ulama pembaharu (mujaddid) dari setiap masa seratus tahun pertama sampai masa seratus tahun kedelapan (sebagaimana disebut oleh as-Suyuthi di dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii Akhbaaril-Mujaddidiin), dan sampai masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di dalam 'Aunul-Ma'buud), tidak terdapat nama Ibnu taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab (perintis paham Salafi & Wahabi). Bagaimana mungkin mereka dianggap mujaddid (pembaharu) sedangkan paham mereka banyak yang bertentangan dengan ijma' mayoritas ulama.

Kemungkinan ada orang belakangan yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai pembaharu, tetapi pengakuan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab paham yang di bawa Ibnu Taimiyah adalah paham baru yang tidak pernah dianut oleh para ulama sebelumnya bahkan para ulama mujaddid sekalipun. Bagaimana mungkin penobatan Ibnu Taimiyah sebagai mujaddid bisa dibenarkan, sementara ia hanya mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama salaf (mereka yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in sekitar 300 H.). Berarti, status mujaddidnya Ibnu Taimiyah (yang muncul di abad ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan mujaddid dari sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa dibenarkan sedangkan Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan ada di setiap akhir masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap mujaddid oleh para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di abad ke-12 lebih tidak pantas lagi.

Menolak adanya pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah dhalalah/madzmumah dan bid'ah hasanah/mahmudah, maka secara tidak langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan oleh mujaddid, sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam Syafi'I yang diakui oleh para ulama sebagai mujaddid pada akhir masa abad ke-2 (sebelumnya di abad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz) dan disetujui penjelasannya itu oleh para ulama setelahnya.