Jumat, 13 Agustus 2010

Tasawuf, Jihad, dan Politik

Delapanbelas harinya Sabtu
bulan Sya`ban ketika waktu
pukul empat jamnya itu
haji berzikir di pemarakan tentu


Haji ratib di pengadapan
berkampung bagai mengadap ayapan
tidaklah ada malu dan sopan
ratib berdiri berhadapan


La ilaha illa'llahu dipalukan ke kiri
kepada hati nama sanubari
datanglah opsir meriksa berdiri
haji berangkat opsirpun lari
......


Haji berteriak Allahu akbar
datang mengamuk tak lagi sabar
dengan tolong Tuhan Malik al-Jabbar
serdadu Menteng habislah bubar
......


Haji berteriak sambil memandang
hai kafir marilah tandang
syurga bernaung di mata pedang
bidadari hadir dengan selendang


Di situlah haji lama terdiri
dikerubungi serdadu Holanda pencuri
lukanya tidak lagi terperi
fanalah haji lupakan diri

Beberapa bait ini, dari Syair Perang Menteng,[1] menceritakan perlawanan orang Palembang terhadap pasukan Belanda yang dikirim untuk menaklukkan kota mereka pada tahun 1819. Perang ini dikenal dengan nama komandan pasukan Belanda, Muntinghe, yang dimelayukan menjadi Menteng. Sang penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan ("haji") mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir dan beratib dengan suara keras sampai "fana". Dalam keadaan tak sadar ("mabuk zikir") mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal dan sakti lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan keberanian mereka berhasil mengalahkan serangan pertama pasukan Belanda.

Kaum haji mujahid yang dipotret dalam syair ini jelas adalah orang tarekat. Walaupun sang penyair tidak menyebut nama tarekat, tidaklah sulit untuk menarik kesimpulan bahwa mereka mengamalkan amalan tarekat Sammaniyah. Tarekat tersebut memang telah berkembang di Palembang, dan dibawa dari tanah suci oleh murid-murid Abdussamad al-Palimbani pada penghujung abad ke-18.

Syaikh Abdussamad dikenal terutama sebagai pengarang Sair Al-Salikin dan Hidayat Al-Salikin, dua karya sastra tasawwuf Melayu yang penting. Dua karya ini berdasarkan Ihya dan Bidayat Al-Hidayah'nya Ghazali, dengan tambahan bahan dari berbagai kitab tasawwuf lainnya.[2] Ia lama sekali menetap di Makkah, dan barangkali orang Indonesia pertama yang mendapat ijaza untuk mengajar tarekat Sammaniyah. Setelah mendapat ijazah dari pendiri tarekat, Syaikh Samman sendiri, ia kemudian mengajarkannya kepada orang Indonesia lainnya yang berada di Makkah, terutama kepada orang yang berasal dari kota kelahirannya Palembang. Uraian mengenai tarekat Sammaniyah terdapat dalam Hidayat Al-Salikin dan dalam Ratib `Abd Al-Samad yang ia karang.

Namun Syaikh Abdussamad ternyata tidak menulis karya tasawwuf saja. Ia pula mengarang sebuah risalah berbahasa Arab mengenai jihad, Nashihat Al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu'minin fi Fadha'il Al-Jihad fi Sabil Allah. Yang lebih menarik lagi, ia juga telah menulis surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Susuhunan Prabu Jaka (putra Amangkurat IV) yang dapat dianggap dorongan untuk terus berjihad melawan orang kafir, sebagaimana dilakukan para sultan Mataram sebelumnya.[3] Syaikh Abdussamad, rupanya, seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan. Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik.

Syaikh Abdussamad bukan ahli tarekat Indonesia pertama yang bersemangat jihad melawan penjajah non-Muslim. Lebih dari satu abad sebelumnya, terdapat seorang ahli tarekat berpengaruh yang pernah berperan sebagai pemimpin gerilya melawan Kompeni. Tidak lain, tokoh ini adalah Syaikh Yusuf Makassar, yang mendapat gelar "al-Taj al-Khalwati". Hingga kini, tarekat Khalwatiyah yang ia bawa ke Nusantara masih tetap berakar di Sulawesi Selatan. Syaikh Yusuf lahir di kerajaan Goa dan pada usia muda merambah ke tanah Arab untuk mencari ilmu. Ia berguru kepada berbagai guru kenamaan dan menerima ijazah untuk mengamalkan dan mengajar sejumlah tarekat - selain tarekat Khalwatiyah juga Syattariyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah dan Ba'alawiyah. Sekembalinya dari Timur Tengah, Syaikh Yusuf tidak mau menetap di Goa, yang telah ditaklukkan oleh Kompeni Belanda, melainkan memilih hidup di Banten, yang belum dikuasai Belanda dan kala itu merupakan salah satu pusat budaya Islam terpenting di Nusantara.

Dalam rentang waktu pendek Syaikh Yusuf telah menebarkan pengaruh luar biasa di Banten. Ia menjadi penasehat utama Sultan Ageng Tirtayasa dan diambil menantu olehnya. Kedudukannya bertambah kokoh dengan adanya ratusan orang Bugis dan Makassar di Banten, yang menjadi tulang punggung tentara dan armada Banten pada saat itu. Mereka membanggakan putra daerah mereka yang dianggap waliyullah dan menjadi pengikutnya yang fanatik. Tidak semua orang di Banten senang melihat pengaruh begitu besar Syaikh Yusuf. Hubungan antara syaikh dengan putra mahkota, yang bergelar Sultan Haji, lantaran pernah ke Makkah, kian memburuk. Pada tahun 1682 Sultan Haji memberontak dan berusaha menggeser ayahnya. Ia dibantu oleh pasukan Kompeni Belanda dari Betawi, yang tentu saja mempunyai alasan tersendiri untuk campur tangan dalam urusan kerajaan tetangga, mana pada waktu itu merupakan pesaing kuat dalam perdagangan. Sultan Ageng ditangkap, tetapi Syaikh Yusuf dengan pengikut-pengikutnya berhijrah ke pegunungan. Nyaris dua tahun mereka mampu bertahan kendati diburu oleh pasukan Kompeni yang jauh lebih kuat. Syaikh Yusuf akhirnya ditangkap dan dibuang ke Ceylon, sedangkan pengikut-pengikutnya dikembalikan ke Sulawesi.[4]

Kaum tarekat: militan atau apolitik?
Dua kasus di atas menunjukkan keterlibatan tarekat dalam peperangan fisik melawan agresi penjajah. Jumlah kasus seperti ini, jika dikehendaki, dapat dideret lebih banyak lagi. Pertanyaan patut diajukan: apakah sikap militan itu memang melekat pada tarekat, atau hubungan itu kebetulan saja? Apakah ada faktor dalam ajaran, amalan dan organisasi tarekat yang mendorong kepada militansi politik? Atau contoh-contoh tadi mesti dipahami sebagai kekecualian, disebabkan situasi luar biasa, sedangkan kaum tarekat biasanya cenderung untuk menjauhkan diri dari urusan politik?

Ikhwal tasawwuf dan tarekat memang terdapat dua persepsi yang bertolak belakang. Para pejabat jajahan Belanda, Perancis, Italia dan Inggeris lazim mencurigai tarekat karena - dalam pandangan mereka - fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik. Untuk ini, bukan suatu kebetulan jika kajian-kajian Barat yang pertama mengenai tarekat lebih mirip laporan penyelidikan intel daripada penelitian ilmiah.[5] Oleh karena bahaya politik yang mereka cerna, banyak pejabat telah menganjurkan larangan atau pembatasan terhadap kegiatan tarekat. Meskipun kecurigaan terhadap tarekat bukanlah monopoli pejabat kolonial. Di Republik Turki, misalnya, pada tahun 1925 semua tarekat dilarang setelah terjadi pemberontakan nasionalis Kurdi yang dipimpin oleh syaikh-syaikh tarekat Naqsyabandiyah. Larangan resmi sampai sekarang masih tetap berlaku - walaupun belakangan ini kegiatan tarekat mengalami perkembangan baru. Larangan yang lebih ketat lagi telah berlaku di (almarhum) Uni Soviet; dan di republik-republik bagian Uni Soviet yang Muslim jaringan tarekat memang telah merupakan oposisi bawah tanah yang paling penting.

Persepsi kedua, sebaliknya, menganggap perkembangan tarekat sebagai suatu gejala depolitisasi, sebagai pelarian dari tanggungjawab sosial dan politik. Dalam pandangan ini, tarekat lebih berorientasi kepada urusan ukhrawi ketimbang masalah dunia. Para pengkritik tarekat menekankan aspek asketis (zuhd) dan orientasi ukhrawi; dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan kaum tarekat konon lazim menjauhkan diri dari masyarakat (khalwah, uzlah). Kalau kalangan Islam "tradisional" (Aswaja) dianggap lebih kolot, akomodatif dan apolitik dibandingkan dengan kalangan Islam modernis, kaum tarekat dianggap paling kolot di antara yang kolot, dan yang paling menghindar dari sikap politik. Pandangan ini, seperti akan kita lihat, terlalu sederhana. Tetapi tidak dapat diingkari bahwa ada kaitan erat antara proses depolitisasi Islam (seperti yang terlihat di Indonesia selama tiga dasawarsa terakhir) dan suburnya proses perkembangan para tarekat.

Sebagai pengamatan awal kita bisa mencatat bahwa dua persepsi tentang tarekat ini berkenaan dengan situasi-situasi yang berbeda. Hampir semua kasus perlawanan fisik oleh kaum tarekat yang telah dikenal berlangsung terhadap penguasa yang bukan Muslim atau sekuler (Turki). Dalam negara Muslim merdeka jarang terjadi pemberontakan atau sikap oposisi radikal dari kalangan tarekat. Dalam hal ini, kaum tarekat tidak berbeda dari kalangan Islam "tradisional" pada umumnya. Malahan - ini merupakan pengamatan kedua - orang tarekat seringkali begitu dekat kepada penguasa. Daripada menjauhi urusan politik, syaikh-syaikh tarekat cenderung mendekati penguasa. Syaikh Yusuf Makassar menjadi penasehat dan menantu Sultan Ageng Banten; Syaikh Abdussamad melalui surat menasehati Sultan Mataram. Dan para penguasa, sebaliknya, tidak jarang mencari dukungan moral dan spiritual dari syaikh tarekat.

Syaikh dan Sultan

Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat yang paling besar, dengan cabang-cabangnya di hampir seluruh dunia Islam, menyebar dari Yugoslavia dan Mesir sampai Cina dan Indonesia. Hasil pengamatan yang telah dilakukan banyak sarjana menunjukkan bahwa syaikh-syaikh tarekat ini cenderung mendekati penguasa dan mencari pengikut di kalangan elit politik. Contoh klasik adalah Syaikh `Ubaidallah Ahrar (Khwajah Ahrar, 1404-1490), khalifah angkatan kedua dari pendiri tarekat Baha'uddin Naqsyaband. Sumber sejarah lokal menggambarkan Khwajah Ahrar sebagai seorang syaikh yang kaya raya dan sangat berpengaruh di istana dinasti Timurid di Herat (di Afghanistan sekarang). Jumlah muridnya banyak, dan mereka berasal dari semua lapisan masyarakat, secara demikian memperkokoh bobot politiknya. Ketika pada masa suksesi terjadi peperangan antara beberapa calon pengganti Sultan, pemenangnya adalah pangeran yang didukung oleh Khwajah Ahrar, Abu Sa`id. Syaikh kemudian tetap sebagi guru, penasehat dan pelindung spiritual raja Abu Sa`id dan kemudian penggantinya `Abd al-Lathif.[6] Pengaruhnya dimanfaatkan, antara lain, demi islamisasi lanjutan pemerintahan; atas desakan Khwajah Ahrarlah Abu Sa`id konon telah mengubah beberapa aturan `urfi (adat) sehingga lebih sesuai dengan syari`ah. Khalifah-khalifah Khwajah Ahrar berusaha memainkan peranan yang sama pada dinasti-dinasti lokal. Bahkan ada keturunan spiritualnya yang berhasil menjadi penguasa di Yarkand, salah satu kerajaan lokal di Asia Tengah.

Dari Asia Tengah tarekat Naqsyabandiah kemudian menyebar ke Barat (Turki Usmani) dan ke Tenggara (India Moghul), dan banyak di antara syaikhnya yang mempunyai pengaruh kuat di kalangan elit, terkadang sampai Sultan sendiri. Di Turki, Sultan Bayezid II (akhir abad ke-15) terkenal sebagai penguasa yang memiliki hubungan akrab dengan berbagai guru tarekat, sedangkan di India Sultan Aurangzeb (pertengahan abad ke-17) sedikit banyak juga dipengaruhi oleh beberapa syaikh Naqsyabandiyah. Merekalah yang punya andil dalam perubahan besar kehidupan beragama di bawah Sultan ini. Agama resmi yang diciptakan Sultan Akbar, Din-i Ilahi, yang merupakan perpaduan Islam dan Hindu, digantikan dengan Islam yang murni dan berorientasi syari`ah. Dalam salah satu surat kepada Sultan Aurangzeb, Syaikh Muhammad Ma`sum menganjurkannya untuk menunaikan jihad dalam dua dimensinya, yaitu perang melawan kafir (dalam hal ini negara tetangga Qandahar yang Syi`i) dan perang melawan nafsu.[7]

Ketika tarekat Naqsyabandiyah masuk Indonesia, terlihat pendekatan yang mirip. Syaikh Isma`il Minangkabawi, yang telah menjadi khalifah Naqsyabandiah di Makkah, kembali ke Nusantara sekitar tahun 1850 dan menjadi guru dan penasehat raja muda Riau (Yang Dipertuan Muda), Raja Ali. Waktu Syaikh Isma`il pulang ke Makkah, adik Raja Ali, Raja Abdullah, menjadi khalifahnya. Raja Abdullah kemudian menggantikan kakaknya sebagai penguasa. Setelah Raja Abdullah meninggal penggantinya, Raja Muhammad Yusuf ingin memperkuat legitimasinya sebagai penguasa dan pergi ke Makkah untuk minta ijazah khalifah Naqsyabandiyah dari Syaikh Muhammad Salih al-Zawawi.

Akan halnya sultan-sultan Pontianak, pernah menjadi murid Syaikh Muhammad Salih dan putranya Abdullah al-Zawawi. Syaikh Abdullah al-Zawawi pernah datang ke Indonesia dan tinggal di istana Pontianak dan Kutai. Di Sumatera Utara, Sultan Deli dan Pangeran Langkat pada tahun 1880-an dikenal sebagai murid tarekat Naqsyabandiyah. Syaikh Abdul Wahhab, yang berasal dari Rokan (Riau), mendirikan desa Naqsyabandiyah Babussalam di Langkat dan senantiasa mendapat perlindungan oleh istana Langkat. Di pulau Jawa tarekat Naqsyabandiyah gagal merangkul raja-raja, tetapi ada beberapa bupati yang menjadi pengikut setia. Laporan Belanda abad ke-19 mencatat bahwa guru-guru tarekat Naqsyabandiyah sengaja pada awalnya mendekati kaum bangsawan dan pamong praja, sehingga mendapat restu dari atas, dan barulah kemudian menaruh perhatian kepada lapisan masyarakat lainnya.

Pendekatan guru-guru tarekat ini terhadap sultan dan penguasa lainnya sangat bermanfaat dari sudut pandangan sang syaikh. Salah seorang ulama penentang tarekat menulis dengan nada sinis mengenai keberhasilan Syaikh Isma`il Minangkabawi di Riau: "dan itu Haji Isma`il sudah balik kembali ke negeri Makkah dengan bawa uwang terlalu banyak adanya".[8] Komentar senada sering pula terdengar terhadap ulama-ulama yang dekat pada penguasa. Dan memang saya jarang sekali bertemu dengan syaikh tarekat yang miskin. Tetapi di samping itu ada dampak lain juga. Semua syaikh yang disebut di atas juga berhasil mempengaruhi sikap beragama penguasa yang mereka dekati. Riau, Pontianak, Deli dan Langkat menjadi wilayah tempat syari`ah diindahkan, atau dalam bahasa para pejabat Hindia Belanda, penguasa setempat cenderung kepada "fanatisme". Di Cianjur masjid tiba-tiba mulai dikunjungi khalayak ramai pada tahun 1885-an setelah bupatinya masuk tarekat Naqsyabandiyah (sehingga ada pejabat yang panik dan mencurigai ada persiapan untuk pemberontakan). Di Kutai, yang budayanya masih campuran, kalangan istana dianjurkan berhenti minum minuman keras oleh Abdullah al-Zawawi, dan seterusnya.

Mengapa para sultan seringkali mengembangkan hubungan akrab dengan seorang (atau beberapa orang) syaikh tarekat dan bersedia mendengarkan nasehat-nasehatnya? Kita memang jauh lebih sering melihat ulama tarekat daripada kaum fuqaha sebagai penasehat sultan dan raja. Alasannya bermacam-macam, tapi salah satu yang penting adalah karamahnya syaikh tarekat. Kekuatan spiritual syaikh diharapkan bisa melindungi dan melestarikan kerajaan. Syaikh yang ahl al-kasyf bisa menunjukkan kapan harus perang dan kapan damai, apa hari terbaik untuk sebuah keputusan dan apa hari naas. Raja yang sadar bahwa ia telah berbuat banyak dosa mendapat ketenangan hati berkat bimbingan ruhani oleh syaikh. Kehadiran orang yang dianggap "kramat" di lingkungan istana diharapkan dengan sendirinya akan membawa berkah. Yang tidak kalah pentingnya, kehadiran syaikh bisa memperkokoh legitimasi penguasa di mata rakyat. Dalam kenyataannya, peranan syaikh di istana bisa bervariasi dari guru agama sampai jimat hidup.

Tasawwuf sebagai legitimasi politik dan sumber kesaktian
Seperti diketahui, setiap kerajaan di Nusantara memiliki dan sangat menghargai pusaka, benda-benda yang dianggap sakti. Raja-raja juga mengumpulkan orang maupun binatang yang "aneh" di sekitar mereka untuk meningkatkan kesaktian dan keabadian kerajaan. Agaknya, bukan suatu kebetulan kalau kerajaan-kerajaan Nusantara baru mulai masuk agama Islam setelah Islam mulai diwarnai ajaran tasawwuf wahdatul wujud dan tarekat-tarekat. Karya sejarah legendaris seperti Sejarah Melayu dan Babad Tanah Jawi menunjukkan bahwa raja-raja sangat tertarik kepada ajaran tasawwuf dan mempunyai penasehat yang ahli tasawwuf. Dari tasawwuf diharapkan, antara lain, kesaktian yang lebih hebat daripada kesaktian pra-Islam.

Teori tasawwuf mengenai kewalian diadaptasi sehingga banyak raja dulu mengklaim diri sebagai wali dan al-insan al-kamil. Dengan demikian konsep-konsep yang diambil dari tasawwuf digunakan sebagai pengganti legitimasi pra-Islam yang menyatakan raja sebagai Siva-Buddha atau bodhisattva.[9] Di kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara), ajaran tasawwuf mengenai martabat tujuh (yang merupakan penyederhanaan dari teori tajalli'nya Ibnul Arabi) telah dipakai sebagai legitimasi sistim politik kerajaan itu. Proses emanasi (tajalli) diidentikkan dengan stratifikasi masyarakat. Menurut teori sufi martabat tujuh, pada tiga tahap pertama proses tajalli Tuhan bersifat tanzih (transendental, secara mutlak berbeda dari sifat-sifat alam), sedangkan empat tahap berikut (dengan sifat tasybih, immanen) merupakan manifestasiNya dalam alam semesta. Di Buton, tiga golongan bangsawan (yang dulu, agaknya, dianggap berasal dari dewata) diserupakan dengan tiga tahap tanzih itu, sedangkan empat tahap tasybih diidentikkan dengan empat lapisan masyarakat: raja, bangsawan, orang awam dan budak. Ini barangkali merupakan contoh yang paling ekstrim dari "pribumisasi" ajaran tasawwuf di Indonesia.[10]

Dalam proses islamisasi kerajaan-kerajaan Nusantara, tasawwuf dan tarekat memainkan peranan penting - walaupun dalam proses itu, ajaran tasawwuf kadang-kadang diubah. Ajaran kosmologi versi Ibn al-`Arabi dan Al-Jili, misalnya, diterapkan sebagai legitimasi tatanan masyarakat. Amalan tarekat - dzikir, wirid, ratib dan sebagainya - juga diterapkan dengan tujuan di luar tasawwuf. Orang Nusantara masa dulu sangat menaruh perhatian kepada kemampuan supranatural - kesaktian, kekebalan, kadigdayan, kanuragan dan segala ilmu gaib lainnya. Dapat dimengerti jika pada awalnya mereka menganggap amalan tarekat sebagai salah satu cara baru untuk mengembangkan kemampuan supranatural itu. Sehingga terkadang sulit membedakan antara tasawwuf dan magi. Sampai sekarang banyak aliran silat menggunakan amalan yang berasal dari tarekat-tarekat guna mengembangkan "tenaga dalam", tujuan yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan agama lagi. Permainan debus, yang dulu juga terkait dengan persilatan, nampak berasal dari amalan tarekat Rifa`iyah dan Qadiriyah. Dalam dunia perdukunan juga dapat ditemukan bacaan-bacaan dan cara meditasi (mujahadah, muraqabah, dsb) yang berasal dari amalan tarekat, walaupun pengetrapannya tidak jarang dikritik oleh kalangan tarekat masa kini.

Tentu saja, tarekat tidak bisa diidentikkan dengan kegiatan magi itu sendiri. Dalam sejarah tarekat terlihat, seperti dalam sejarah Islam pada umumnya, gelombang demi gelombang pemurnian. Syaikh-syaikh yang disebut di bagian depan artikel ini semuanya pada zamannya merupakan pemurni agama, dalam arti bahwa mereka berusaha menggantikan praktek-praktek lokal dengan ajaran dan amalan yang mereka peroleh di tanah Arab - termasuk penekanan kepada syari`ah. Tuntutan masyarakatlah yang senantiasa mendorong kepada penerapan "praktis" yang berbau magi. Ambillah, sebagai contoh, perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, yang selalu syari`ah-oriented, di pulau Lombok. Pada abad lalu tarekat ini punya pengaruh besar di Lombok; penganutnya berkiblat kepada Syaikh Muhammad Salih al-Zawawi di Makkah, guru yang paling ortodoks. Sekarang tarekat ini hampir tidak dikenal lagi; tetapi waktu saya melakukan pelacakan sejarahnya, akhirnya saya bertemu dengan dua orang keturunan guru Naqsyabandiyah yang pertama. Mereka sekarang tidak dikenal lagi sebagai guru agama tetapi sebagai guru kekebalan. Amalan-amalan yang mereka ajarkan kepada pemain silat perisai di sana, ternyata tetap merupakan amalan-amalan Naqsyabandiyah!
Tetapi dalam budaya Islam Timur Tengah juga terdapat berbagai tradisi "magi Islam", yang kadangkala disebut dengan istilah hikmah dan thibb. "Ilmu" yang berasal dari budaya pra-Islam (seperti wafaq, rajah, dsb) biasanya disebut hikmah, sedangkan thibb ("pengobatan") berdasarkan fawa'id ayat Qur'an dan sebagainya.

Dua-duanya oleh kalangan luas dianggap sebagai bagian dari Islam, dan ulama-ulama besar yang ortodoks (seperti Ghazali, Suyuti, Ibn Qayyum al-Jauzi) pernah menulis kitab mengenai ilmu-ilmu ini.[11] Ilmu-ilmu ini sering melekat pada tarekat; banyak guru tarekat sekaligus punya nama sebagai ahli tibb dan/atau hikmah. Menulis jimat dan isim sudah termasuk pekerjaan biasa untuk seorang syaikh tarekat; syaikh yang tidak bisa (atau tidak mau) memberikan muridnya jimat penyelamat dapat dikatakan fenomena langka.

Tarekat dan pemberontakan
Jimat-jimat, latihan kekebalan, tenaga dalam dan kesaktian lainnya pada situasi normal hanya merupakan aspek kurang penting dalam pertarekatan (walaupun punya daya tarik kuat). Namun pada situasi tidak aman, dalam perang atau pemberontakan, aspek ini menjadi sangat menonjol. Dalam banyak kasus pemberontakan yang melibatkan tarekat, kelihatannya bukan tarekat yang memelopori pemberontakan melainkan para pemberontak yang masuk tarekat untuk memperoleh kesaktian. Dalam beberapa kasus laporan resmi menyebutkan bahwa menjelang pemberontakan orang berjubel mendatangi syaikh-syaikh tarekat yang punya nama sebagai ahli kesaktian, untuk minta dibaiat oleh mereka.

Suatu kasus yang menarik adalah pemberontakan anti-Belanda di daerah Banjarmasin sekitar tahun 1860-an. Pemberontakan itu sudah berlanjut beberapa tahun ketika seorang guru mulai mengajar amalan yang dinamakan "beratip be`amal" - barangkali suatu varian amalan tarekat Sammaniyah. Orang berbondong-bondong datang dibaiat dan diberikan jimat-jimat. Seperti dalam kasus perlawanan di Palembang, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang tanpa mempedulikan bahaya. Tiba-tiba pemberontakan menjadi jauh lebih membahayakan kedudukan Belanda, dan baru mereda setelah para pemimpin serangan dari kaum beratip be`amal tewas tertembak. Dalam kasus ini tampak bahwa ada pemberontakan dulu, dan barulah kemudian tarekat dilibatkan.[12]

Pada zaman revolusi kita juga melihat fenomena yang sama. Banyak dari pemuda-pemuda yang siap berperang melawan Belanda ikut latihan silat dengan tenaga dalam. Di daerah Sukabumi, misalnya, Kiai Ahmad Sanusi sangat terkenal sebagai guru kekebalan dan silat "sambatan" (yaitu, murid-muridnya secara supranatural menguasai jurus-jurus yang tak pernah mereka pelajari). Banyak dari pemuda-pemuda yang aktif ikut dalam revolusi di daerah itu minta dibaiat olehnya.[13] Kartosuwirjo, pemimpin Darul Islam di Jawa barat, juga pernah belajar kekebalan dan silat gaib pada beberapa guru tarekat, antara lain Kiai Yusuf Tauziri.[14] Di Banten, Kiai Abdurrahim Maja, guru debus yang terkenal, memimpin sebuah lasykar Sabilillah yang konon kebal semuanya (tetapi kemudian gugur di Tangerang). Dari daerah lain kita mendengar cerita serupa.[15]

Tarekat sebagai jaringan sosial
Ada satu ciri tarekat lagi yang tak boleh diabaikan dalam pembahasan mengenai tarekat dan politik. Amalan tarekat bisa saja dilakukan secara perseorangan, tetapi biasanya murid yang telah dibaiat akan tetap menjaga hubungan khusus dengan gurunya dan juga dengan sesama murid. Kalau tempat tinggal guru tidak terlalu jauh, para murid secara teratur ikut zikir bersama dan juga cenderung bergaul lebih banyak dengan sesama "ikhwan" daripada orang lain. Seorang syaikh besar biasanya punya beberapa orang wakil (khalifah, badal), dan melalui mereka ia bisa memimpin puluhan ribu murid yang tersebar secara luas. Jaringan syaikh-syaikh dengan wakil-wakil mereka merupakan suatu organisasi informal yang kadangkala sangat berpengaruh.
Contoh klasik dari tarekat sebagai jaringan pemersatu masyarakat adalah tarekat Sanusiyah di Libya. Orang Badui di sana terdiri dari sejumlah suku yang di antaranya terdapat banyak persaingan dan peperangan. Syaikh Muhammad al-Sanusi al-Kabir dan putranya al-Mahdi melantik banyak khalifah, yang biasanya mendirikan zawiyah di perbatasan antara wilayah dua atau tiga suku dan yang sengaja berusaha agar pengikutnya tidak terdiri dari satu suku saja. Ketika terjadi perlawanan terhadap penjajah Perancis dan Italia, guru-guru tarekatlah yang bisa mengkordinir dan mempersatukan semua suku Badui. Negara Libya modern merupakan hasil perjuangan tarekat Sanusiyah (dan syaikh tarekat Sanusiyah yang ke-empat, Sayyid Muhammad Idris, menjadi raja pertama negara Libya).[16]

Di Kurdistan - wilayah yang sekarang dibagi antara Turki, Irak dan Iran - peranan pemersatu itu dimainkan oleh tarekat Naqsyabandiyah pada menghujung abad ke-19. Masyarakat Kurdi, seperti halnya masyarakat Badui, terdiri dari sejumlah suku (`asyirah) besar dan kecil. Dulu pernah ada kerajaan-kerajaan Kurdi yang mampu mengendalikan suku-suku dan pertentangan-pertentangannya, namun kerajaan-kerajaan Kurdi terakhir dibubarkan oleh negara Turki Usmani pada awal abad ke-19. Selama beberapa puluhan tahun tidak ada pemimpin Kurdi yang punya wibawa lebih luas daripada sukunya sendiri. Kekosongan itu mulai diisi oleh syaikh-syaikh tarekat. Mereka memang sudah ada sejak lama tetapi dalam situasi politik baru ini mereka mulai memainkan peranan baru. Mereka biasanya mempunyai pengikut dari berbagai suku, sehingga mereka sering menjadi perantara antara suku-suku dan wasit dalam konflik antarsuku. Pemberontakan-pemberontakan nasionalis Kurdi yang pertama, antara tahun 1880 dan 1925, hampir semua dipimpin oleh syaikh tarekat Naqsyabandiyah, karena hanya merekalah yang bisa mengkordinir suku-suku yang terus bersaing dan berkonflik.[17]

Masyarakat Indonesia (sekurang-kurangnya sukubangsa besar seperti Jawa dan Sunda) tidak terdiri dari banyak suku yang saling bersaing seperti masyarakat Arab dan Kurdi, sehingga fenomena di atas tidak ditemui dalam bentuk yang sama di sini. Walau demikian, dalam beberapa pemberontakan antikolonial terlihat tarekat memainkan peranan kordinasi dan komunikasi yang mirip. Pemberontakan Banten 1888, yang cukup dikenal berkat kajian Sartono Kartodirdjo, menggambarkan peranan itu.[18] Dalam pemberontakan tersebut tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah berperan penting, walaupun khalifah-khalifahnya barangkali tidak bertindak sebagai perencana ataupun pemimpin. Syaikh Abdulkarim Banten, pemimpin utama tarekat ini, menetap di Makkah pada masa itu dan tidak ikut berpolitik. Seorang khalifahnya, Haji Marjuki, memang sangat anti-penjajah, dan pidato-pidatonya ikut memanaskan suasana. Tetapi dalam pemberontakan sendiri Haji Marjuki tidak memainkan peranan yang menonjol. Tarekat berperan sebagai jaringan komunikasi dan kordinasi antara para pemberontak. Sesama ikhwan saling mengenal dan saling mempercayai, dan itulah yang menyebabkan para anggota tarekat menjadi kelompok inti pemberontakan ini. (Di samping itu, tentunya para pemberontak meminta jimat-jimat dan amalan untuk kekebalan pada guru tarekat pada tingkat lokal).

Jaringan tarekat, yang lebih luas daripada organisasi informal lainnya, tentu mempunyai potensi politik. Pada zaman kolonial, potensi itu berulang kali muncul dalam bentuk gerakan rakyat. Pada zaman merdeka potensi itu muncul dengan tujuan yang lain. Karena ketaatan para murid kepada syaikh mereka, para syaikh bisa menjanjikan ribuan, puluhan ribu suara menjelang pemilihan. Dengan demikian, seorang syaikh bisa merunding dengan partai-partai politik untuk mendapatkan imbalan yang cukup berarti.

Di Turki, para tarekat sampai sekarang tetap terlarang, tetapi syaikh-syaikh belakangan ini terang-terangan memainkan peranan politik yang menonjol. Demokratisasi sistem politik Turki secara bertahap sejak tahun 1945 memberikan semangat baru kepada tarekat. Dalam istilah politik Turki, tarekat-tarekat merupakan "gudang suara", dan semua partai memperebutkan gudang-gudang yang penuh suara itu. Dalam posisi tawar-menawar yang begitu kuat, para syaikh berhasil mendapatkan berbagai fasilitas. Beberapa syaikh, atau orang kepercayaan mereka, menjadi anggota parlemen, dan anakbuah-anakbuah mereka ditempatkan dalam jajaran birokrasi. Di berbagai daerah terdapat hubungan cukup erat antara syaikh dengan aparat pemerintahan yang saling menguntungkan. Secara demikian para syaikh dengan mudah memperjuangkan kepentingan-kepentingan pengikutnya dan mendapatkan berbagai jenis fasilitas untuk mereka (tender, pembangunan jalan atau saluran irigasi, listrik, pekerjaan, pendidikan,...). Perkembangan ini, tentu saja, memperkuat posisi syaikh dalam masyarakat, dan jumlah pengikut tarekat kelihatannya kini sedang naik drastis!

Di Indonesia, Golkar dan para partai politik juga sangat sadar akan potensi tarekat sebagai "gudang suara". Potensi itu telah menjadi pokok perhatian luas ketika Kiai Musta'in Romly, tokoh tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, menyatakan dukungannya terhadap Golkar pada awal dasawarsa 1970-an. Pernyataan ini menimbulkan reaksi keras dari kiai-kiai lainnya, yang menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap NU (yang waktu itu belum "kembali ke khitthah"). Pesantren Tebuireng memelopori usaha "penggembosan" pengaruh Kiai Musta'in. Sebagai hasil usaha ini, sebagain besar khalifah dan badalnya pindah kiblat kepada Kiai Adlan Ali, sehingga pada pemilu 1977 dan 1982 gudang suara besar itu dapat diserahkan kepada Ka'bah ketimbang pohon Beringin.

Kiai Musta'in bukan guru tarekat pertama yang ikut dalam permainan politik di Indonesia. Pada awal masa kemerdekaan Syaikh Haji Jalaluddin Bukittinggi mendirikan Partai Politik Tharikat Islam (PPTI). Guru Naqsyabandiyah ini sebelumnya adalah anggota Perti tetapi meninggalkan partai itu karena suatu konflik dengan Syaikh Sulaiman Al-Rasuli. Dalam pemilu 1955 PPTI menang 35.000 suara di Sumatera Tengah (2,2%) dan 27.000 di Sumatera Utara (1,3%).[19] Selama dasawarsa berikut, PPTI berkembang terus dan mendirikan perwakilan di berbagai propinsi lainnya. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Syaikh Jalaluddin menjadi pendukung presiden Sukarno yang sangat setia. Kelak untuk mengikuti tuntutan keadaan, partainya diubah menjadi ormas (1961), dan kepanjangan dari PPTI diubah pula menjadi Persatuan Pembela Tharikat Islam. Pada permulaan Orde Baru, PPTI masuk Golkar, dan pada tahun 1971 menganjurkan semua anggota dan simpatisannya untuk menusuk tanda gambar Beringin. Semenjak itu PPTI merupakan "onderbouw"nya Golkar untuk tarekat. Syaikh Haji Jalaluddin sendiri meninggal dunia pada tahun 1976; organisasinya (yang pada 1975 telah pecah menjadi dua, "Pembela" dan "Pembina" Tarekat) tetap berjalan tetapi tidak lagi mempunyai pemimpin karismatik sebanding Haji Jalaluddin. PPTI sekarang merupakan organisasi Golkar untuk tarekat daripada organisasi tarekat yang mendukung Golkar.[20]

Organisasi tarekat yang mempunyai massa besar adalah Jam`iyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu`tabarah, yang didirikan pada tahun 1957. Anggotanya terutama terdiri dari kiai-kiai tarekat Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan rata-rata adalah orang NU. Kiai Musta'in pernah dipilih sebagai ketua organisasi ini, dan setelah penyeberangannya ke Golkar Jam`iyah ini juga pecah menjadi dua. Pada muktamar yang diadakan oleh kubu non-Golkar di Semarang pada tahun 1979, kata Al-Nahdhiyah ditambah kepada nama organisasi. Perpecahan di dalam Jam`iyah tidaklah berlangsung tajam; berbagai kiai tarekat tetap menjalin hubungan dengan kedua kubu. Namun terlihat bahwa Jam`iyah'nya Kiai Musta'in (almarhum) jauh lebih kecil daripada yang Nahdhiyah.

Menarik sekali melihat bahwa ketika NU mengambil keputusan untuk meninggalkan politik praktis, justeru organisasi tarekat ini yang cenderung tetap mendukung PPP. Atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa Jam`iyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu`tabarah Al-Nahdhiyah telah menjadi benteng terakhir untuk orang NU yang tetap ingin berpolitik. Kiai yang paling vokal menentang keputusan Situbondo, Syamsuri Badawi dari Tebuireng, memainkan peranan sentral dalam Jam`iyah (walaupun ia sebelumnya tidak dikenal sebagai guru tarekat). Dan politikus NU yang paling berpengalaman, Idham Chalid, aktif juga di Jam`iyah setelah ia digeser dari kepemimpinan NU pada muktamar Situbondo.[21]

Kata penutup
Tarekat-tarekat di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan pesat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Salah satu faktor penyebabnya adalah perubahan sosial yang terjadi, di mana proses modernisasi diiringi pula oleh memudarnya ikatan sosial tradisional, telah menimbulkan kekosongan emosional dan moral. Tarekat dan aliran mistisisme lain telah mampu memenuhi kebutuhan yang dirasakan orang banyak tersebut. Organisasi informal seperti itu menawarkan suasana emosional dan spiritual yang semakin sulit dicari dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, proses depolitisasi Islam beberapa dasawarsa ini mendorong umat tidak lagi menaruh perhatian pada cita-cita politik Islam tetapi kepada pengalaman ruhani dan akhlaq pribadi. Perkembangan ini turut pula menambah popularitas tarekat.

Walaupun suburnya perkembangan tarekat untuk sebagian disebabkan oleh depolitisasi Islam, namun sebagai akibat potensi politik tarekat - dalam arti terbatas, tentunya - menjadi semakin nampak. Jumlah pengikut seorang guru tarekat rata-rata jauh lebih banyak daripada pengikut kiai lainnya, dan pengaruhnya terhadap pengikutnya lebih besar. Karena gudang suara yang digenggamnya, kiai tarekat mempunyai posisi tawar menawar (dengan aparat pemerintahan atau dengan partai politik) yang kuat. Peranan mantan politisi NU dalam Jam`iyah Ahl Al-Thariqah dapat dipandang sebagai salah satu gejala depolitisasi - tetapi juga sebagai indikasi potensi politik wadah-wadah kaum tarekat.



[1] Syair ini diterbitkan oleh M.O. Woelders dalam bukunya Het Sultanaat Palembang 1811-1825 ('s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1975). Bait-bait yang dikutip terdapat pada hal. 195-6.

[2] Lihat M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh 'Abdus-Samad al-Palimbani (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal. 25-30.

[3] Quzwain, op.cit., hal. 16-17 dan 22-23.

[4] Uraian lebih lanjut mengenai kegiatan Syaikh Yusuf sebagai guru tarekat dan pemimpin gerilya dalam: Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), Bab 3; dan "Tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan", dalam Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1994).

[5] Beberapa kajian "berorientasi keamanan" yang masih sering dikutip merupakan karangan pejabat Perancis di Afrika Utara: Louis Rinn, Marabouts et Khouan (Alger, 1884); A. Le Chatelier, Les Confréries du Hédjaz (Paris, 1887); O. Depont & X. Coppolani, Les Confréries Religieuses Musulmanes (Alger, 1897). Beberapa kajian Snouck Hurgronje, tentu saja, dibuat dengan orientasi sama walaupun lebih seimbang. Lihat E. Gobée & C. Adriaanse (ed), Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, jilid II ('s Gravenhage: Nijhoff, 1959), hal. 1182-1221 (terjemahan Indonesia akan diterbitkan dalam seri INIS). Kajian pejabat Belanda lainnya tentang tarekat dibahas dalam Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, Bab 1.

[6] Jo-Ann Gross, "Multiple Roles and Perceptions of a Sufi Shaikh", dalam: Marc Gaborieau dkk. (ed), Naqshbandis: Historical Developments and Present Situation of a Muslim Mystical Order (Istanbul & Paris: Isis, 1990), hal. 109-121.

[7] Hamid Algar, "Political aspects of Naqshbandi history", dalam Gaborieau dkk. (ed), Naqshbandis, hal. 123-52.

[8] Sayyid `Utsman bin `Aqil bin Yahya al-`Alawi, Arti thariqat dengan pendek bicaranya (Betawi, 1889), hal. 9.

[9] Lihat A.C. Milner, "Islam and the Muslim State", dalam: M.B. Hooker (ed), Islam in South-East Asia (Leiden: Brill, 1983), hal. 23-49, khususnya 39-43.

[10] Lihat Pim Schoorl, "Islam, macht en ontwikkeling in het sultanaat Buton", dalam: L.B. Venema (ed), Islam en macht (Assen, Belanda: Van Gorcum, 1987), hal. 52-65.

[11] Kitab-kitab ini, tentu saja, dikenal dan dipakai oleh kalangan luas di Indonesia. Ibn Qayyum menulis Al-Thibb Al-Nabawi, Jalaluddin al-Suyuthi Al-Rahmah fi Al-Tibb wa Al-Hikmah, Imam Ghazali Al-Aufaq. Kitab hikmah yang paling terkenal di sini adalah Syams Al-Ma`arif Al-Kubra'nya Syaikh Ahmad al-Buni. Sebagian besar buku Mujarrabat telah meminjam bahan dari kitab tersebut.

[12] P.J. Veth, "Het beratip beamal in Bandjermasin", Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, seri 3 nomor 1 (1869), hal. 331-49.

[13] Diceritakan oleh beberapa bekas pejuang daerah itu. Lihat juga pengamatan seorang pemimpin pasukan revolusi di sana: Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Sydney: Angus and Robertson, 1972), hal. 186. Kiai Ahmad Sanusi, menurut orang setempat, tidak pernah mengajarkan salah satu tarekat tertentu, tetapi ia pernah menulis versi Sunda Manaqib Syaikh Abdulqadir Jailani, dan ilmu kekebalannya barangkali berkaitan dengan tarekat Qadiriyah. Ia juga dikenal sebagai penerjemah Qur'an dalam bahasa Sunda dan sebagai pendiri Persatuan Umat Islam Indonesia. Lihat Mohammad Iskandar, "Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi: Tokoh Kyai Tradisional Jawa Barat", Pesantren XXII, no. 2, 1993, hal. 71-86.

[14] Menurut beberapa sumber lisan.

[15] Lihat juga kenang-kenangan zaman revolusi seorang anggota Korps Mahasiswa di Jawa Barat, Ir.H. Aten Suwandi, Di Bawah Lindungan Tuhan (tanpa tempat dan tahun terbit, 1984?), bab III: "Latihan untuk kekebalan". Seperti halnya tarekat-tarekat, aliran-aliran kebatinan pada masa revolusi juga aktif dengan latihan kekebalan dan silat ber"tenaga dalam". Lihat: Paul Stange, The Sumarah Movement in Javanese Mysticism (Disertasi, Universitas Wisconsin-Madison, 1980), bab 5.

[16] E.E. Evans-Pritchard, The Sanusi of Cyrenaica (Oxford University Press, 1949); Nicola A. Ziadeh, Sanusiyah, a Study of a Revivalist Movement in Islam (Leiden: Brill, 1958).

[17] Martin van Bruinessen, Agha, Shaikh and State, The Social and Political Structures of Kurdistan (London: Zed Books, 1992), bab 4: "Shaikhs: Mystics, Saints and Politicians".

[18] Sartono Kartodirdjo, The Peasants' Revolt of Banten in 1888 ('s Gravenhage: Nijhoff, 1966). Lihat juga analisa saya tentang pemberontakan Lombok 1893 dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia.

[19] Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakyat (Djakarta: LEKNAS, 1971). Di daerah tertentu persentase suara untuk PPTI lebih tinggi: 11% di Solok (Minangkabau) dan juga 11% di Tapanuli Selatan.

[20] Mengenai sejarah PPTI dan konflik-konflik internnya, lihat Djohan Effendi, "PPTI: Eine konfliktreiche Tarekat-Organisation", dalam: Werner Kraus (ed), Islamische mystische Bruderschaften im heutigen Indonesien (Hamburg: Institut für Asienkunde, 1990), hal. 91-100.

[21] KH. Idham Chalid sebetulnya sejak pertengahan tahun 1970-an sudah duduk sebagai Mudir Aam Jam`iyah, tetapi tidak pernah aktif selama ia masih menjabat sebagai ketua umum NU.



by :

Kamis, 12 Agustus 2010

Kahuna & Ho'oponopono

Dahulu kala di sebuah kepulauan Pasifik, ada para bijak yang menatap dunia, mengamati pola-pola alam, tingkah laku binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia, mereka sampai pada beberapa kesimpulan mengenai kehidupan, tentang apakah sebenarnya kehidupan itu, tentang bagaimana kehidupan ini berjalan. Mereka kemudian memberi nama pengetahuan baru ini, mereka menyebutnya Huna, Ka Huna, Rahasia, Pengetahuan Batiniah, pengetahuan tersembunyi.

Dari pengetahuan ini, mereka mengembangkan tujuh gagasan, tujuh prinsip, inilah yang akan dibahas disini. Orang yang melakukan ini, orang yang mempraktekannya disebut Kapua, mungkin sekarang dapat disamakan dengan Dukun. Mereka mempunyai cara yang sangat khas dalam memandang kehidupan ini.

1. Ike -gagasan kita menciptakan realitas kita.
2. Kalatidak ada batas
3. Makiaenergi mengalir kemana pikiran tertuju
4. Manawasekarang inilah saatnya
5. Aloha mencinta adalah berbahagia bersamanya
6. Manasemua daya datang dari dalam diri kita
7. Ponoukuran kebenaran adalah keefektifannya.

Sekarang mari kita jabarkan gagasan pertama;

Prinsip Pertama : IKE
Pada saat ini bisa dikatakan: dunia adalah seperti apa yang kita pikirkan, kehidupan kita adalah mimpi, mimpi yang kita bagikan juga pada orang lain, yang kita bagikan kepada dunia yang kita sebut dengan kenyataan, muncul dari dalam, muncul dari pikiran kita, gagasan kita, keyakinan kita dan kesenangan kita. Semua hal yang kita pikirkan menghasilkan pengalaman yang kita alami. Bahwa dari malam muncul siang hari, dari pikiran muncul kenyataan.

Bila kita ingin merubah kenyataan ini, maka kita harus merubah diri kita sendiri. Merupakan pemborosan energi mengubah dunia luar seorang diri, tetapi kalau kita benar-benar ingin mengubah dunia luar, kita harus masuk kedalam diri kita dan menemukan tempat didalam diri kita yang menciptakan dunia luar, ubahlah itu. Ubahlah gagasan itu, ubahlah keyakinan akan kekurangan menjadi keyakinan akan kemakmuran. Ini adalah Ike, bekerja dari dalam untuk menciptakan perubahan diluar. Ini adalah gagasan yang terpenting, dan semua gagasan yang akan kita bahas kemudian berpangkal dari gagasan pertama ini.


Prinsip Kedua : KALA
Kala, seperti yang sudah disebutkan, tanpa batas. Berarti kita semua saling terhubung, masing-masing diri kita terhubung satu dengan yang lain, pikiran dan tubuh, roh dan manusia, bumi dan tumbuhan juga binatang dengan awan dan langit dengan samudera. Kita semua adalah satu, kita semua saling terhubung.

Kala juga mengatakan bahwa perpecahan adalah ilusi, tetapi karena kita dapat menciptakan realitas kita sendiri dengan pikiran kita, kadang-kadang kita menciptakan pengertian, keyakinan dan perpecahan dan karena kita yakin kita berpisah, kita menciptakan penyakit. Ketika pikiran terpisah dari tubuh, kita berpikir bahwa keduanya terpisah, dengan cara itu kita menciptakan penyakit. Ketika tubuh kita, diri kita terpisah dari orang-orang disekitar kita, ketika kita menciptakan perpisahan seperti itu didalam pikiran kita dan perasaan kita, maka terdapat penyakit didalam hubungan kita. Ketika kita merasa terpisah dari bumi, karena bumi adalah sesuatu diluar diri kita, maka kita menjadi sakit, begitu pula dengan bumi. Tetapi kala mengatakan bahwa sebenarnya dibawah semua pikiran tentang perpisahan, ada kesatuan yang sebenarnya. Dan kita dapat membuang semua gagasan, perasaan dan tindakan, tingkah laku dan pikiran mengenai perpisahan, kesatuan itu muncul bersama-sama. Hubungan itu tercipta lagi, kita menjadi sehat dan utuh didalam diri kita dan dengan dunia disekita kita. Ini adalah kala, ini adalah cara menciptakan hubungan lagi, sebuah pembebasan.

Mungkin anda pernah melihatnya di Hawaii, sebagai sebuah isyarat, orang mengatakan ‘gantungkanlah dengan longgar!’ Maksudnya sangat jelas, ini berarti bahwa kalau anda terikat kuat pada sesuatu, ketika anda menciptakan tekanan, berarti anda menciptakan perpisahan, kalau anda kendor, ketika anda santai, ketika anda membiarkan sesuatu mengalir, anda bertambah sehat, hubungan dengan segala sesuatu menjadi lebih baik, dan suatu hal yang menarik terjadi, ketika anda santai dan segala sesuatu mengalir, akan lebih mudah diubah. Kala tidak mengatakan bahwa anda harus menerima sesuatu seperti apa adanya, selamanya, tanpa perubahan; kalau anda santai, anda dapat lebih mudah mengubahnya. Itulah Kala.

Prinsip Ketiga :  MAKIA
Makia, energi mengalir kemana pikiran tertuju. Manakala ada aliran energi dan perhatian, suatu peristiwa akan terjadi. Manakala anda mengarahkan perhatian anda, dan tetap memperhatikan dengan cara itu kesebuah objek atau gagasan, maka aliran energi akan membawanya. Dan berdasarkan sifat pikiran anda yang seperti itulah aliran balik energi yang akan anda terima. Jadi kalau anda berpikir secara positif mengenai dunia disekitar anda, maka energi positif akan mengalir kembali. Tetapi bila anda mengeluarkan pikiran negatif tentang dunia disekitar anda, maka akibat negatiflah yang akan anda alami. Bila anda menaruh pemikiran mengenai kelimpahan, dan menjaganya dengan konsisten, maka kelimpahan akan mengalir kedalam kehidupan anda.

Kalau anda berpikir tentang kebahagiaan dan kegembiraan secara konsisten, maka kegembiraan dan kebahagiaan mengalir kembali kedalam kehidupan anda. Dan bila anda terpaku pada kekhawatiran dan kemarahan, maka kehidupan anda akan berisi dengan kekhawatiran dan kemarahan. Kalau anda terpusat pada kekerasan, kekecewaan dan penyakit, maka kekerasan, kekecewaan dan penyakitlah yang mengalir dalam hidup anda.

Anda mempunyai kemampuan, kemahiran yang mencengangkan, disebutkan dalam ilmu pengetahuan ini, perihal memutuskan bagaimana anda akan memusatkan pikiran anda, energi anda, perhatian anda, sehingga dengan demikian merubah apa yang mengalir kembali kedalam kehidupan anda. Kesemua prinsip dari ilmu pengetahuan ini, mulai dari yang pertama, mengajari anda bagaimana melakukan perubahan dari dalam sehingga akan membuat perubahan di luar.


Prinsip keempat :  MANAWA
Manawa adalah gagasan bahwa saat ini adalah saat kekuatan atau daya. Saat ini, disini, bahwa tidak ada daya dimasa lampau, tidak ada daya dimasa mendatang, bahwa masa lalu tidak mempunyai kekuatan atas diri anda, bahwa anda adalah orang yang mempunyai kekuatan pada saat ini untuk mengubah apa yang anda pikirkan, dan kemudian, masa lampau dan pengaruh masa lampau, akan gagal menahan anda. Dari waktu ke waktu anda berjalan maju menempuh kehidupan dengan gagasan tentang diri anda sendiri dan tentang masa lampau, dan gagasan itulah, yang menciptakan realitas anda. Bila kehidupan anda penuh keindahan seperti yang dimiliki kepulauan Hawaii, maka anda menciptakan keindahan itu sekarang. Anda meningkatkan keindahan itu dengan menikmati dan menghargai keindahan itu sekarang. Bila anda berhenti menghargainya, bila anda mulai kehilangan rasa keindahan itu, maka tanah yang penuh keindahan ini juga akan kehilangan keindahannya, seperti yang terjadi di berbagai tempat di bumi kita ini. Tetapi semakin anda menghargai dan menikmatinya, anda semakin menguatkannya, anda semakin meningkatkannya.

Jadi bukannya akan menjadi apa diri anda nanti, tetapi apakah diri anda sekarang, inilah yang memciptakan apa yang anda punyai nanti pada saatnya, dan nanti, tidak terletak dihadapan anda, menanti anda bergerak maju dan membenturnya. Masa yang akan datang diciptakan pada saat sekarang ini oleh benih pikiran yang anda rencanakan saat ini. Kadang kala kita mempunyai rumput liar masa lampau, tetapi sekarang kita bisa mencabutnya, kemudian menanamkan benih baru dan menciptakan masa depan yang baru. Ketika kita terus berjalan, benih baru sudah tertanam, dan kalau suatu saat kita memutuskan untuk tidak menyukai apa yang akan dihasilkan oleh benih ini, maka setiap saat kita dapat mencabutnya dan menanam benih yang baru yang lain lagi.

Prinsip kelima : ALOHA
Satu gagasan yang paling menakjubkan dari ilmu pengetahuan ini adalah Aloha. Aloha yang seringkali diartikan dengan Halo atau selamat berpisah. Kita membicarakan Aloha yang begitu sering digunakan sehubungan dengan persahabatan, tetapi sebenarnya jauh lebih dari itu, lebih dari persahabatan, lebih dari halo dan selamat berpisah, Aloha berarti cinta, murni dan sederhana, ini adalah arti sebenarnya dari kata indah itu, cinta.

Dan bahkan lebih mendalam lagi adalah menjadi bahagia. Berbahagia bersama sesuatu atau seseorang, ini adalah sebuah temuan yang sangat istimewa, rahasia yang paling mengagumkan dari ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat Hawaii, bahwa mencinta adalah berbahagia bersama diri anda sendiri, bersama orang lain, dengan alam disekitar anda, anda jatuh cinta, dan cinta harus dinyatakan, dan cinta selalu mengalir. Tetapi pada saat mengkritik, marah, merasa tidak senang, tidak menyukai orang disekitar anda, anda mengurangi cinta. Jadi karena cinta tidak berurusan dengan rasa sakit, cinta tidak berurusan dengan menyakiti orang lain atau merasa disakiti. Cinta adalah kebahagiaan, kegembiraan, persahabatan dan kesenangan dalam setiap hubungan, karena cinta adalah berbahagia bersamanya.

Prinsip keenam : MANA
Mana adalah sebuah kata yang sering kali disalah artikan, dianggap hanya mempunyai satu arti; energi, tetapi sebenarnya Mana adalah sebuah gagasan yang berarti daya, kekuatan Illahi, kekuatan kreatif. Konsep Mana adalah adanya satu sumber dari segala kekuatan, sumber itu mengalir melalui masing-masing diri kita. Tidak hanya melalui kita sebagai makhluk hidup, tetapi melalui bumi sendiri, melalui setiap batu, setiap pohon, setiap awan. Mana adalah kekuatan batin yang memberi segala sesuatu kreatifitas.

Mana adalah kekuatan gelombang laut yang bergulung menuju pantai, mana adalah kekuatan angin yang mendukung awan dan burung-burung, Mana adalah kekuatan bebatuan yang kuat dan seimbang, Mana adalah kekuatan manusia untuk menjadi kreatif, dengan cara mereka sendiri yang unik. Mana adalah sumber kekuatan yang berasal dari luar diri kita yang melampaui kekuatan kita.

Semua keberadaan kita berasal dari sumber yang sama, ketika kita berpikir bahwa segala sesuatu itu mempunyai kekuatan, apakah itu alam, apakah itu orang lain, apakah itu roh, apakah itu yang kita sangka mempunyai kekuatan melebihi hidup yang sedang kita jalani, semua yang sedang kita lakukan, menurut ilmu pengetahuan ini, mengurangi kekuatan kita sendiri.

Mana adalah kekuatan untuk melakukan sesuatu, untuk menjadi kreatif. Mana adalah kekuatan didalam setiap benda, didalam setiap orang, dan menjadi dirinya sendiri yang paling potensial. Semakin kita membiarkan diri kita merasakan kekuatan itu, menggunakannya, merasa berhak atasnya, maka kita memiliki kekuatan untuk membuat diri kita menemukan potensinya yang paling tinggi.

Prinsip ketujuh : PONO
Disini dikatakan bahwa ukuran kebenaran adalah efektifitasnya, selalu ada cara lain untuk melakukan segala sesuatu, kita tidak pernah benar-benar tergantung pada suatu cara, tidak ada sebuah cara untuk segala sesuatu, tidak hanya ada satu kebenaran, tidak hanya ada satu metoda, satu teknik, satu jenis obat, satu cara untuk menyembuhkan, satu cara agar bahagia, tidak hanya ada satu orang saja yang bisa membuat kita bahagia. Ada sangat banyak sekali cara untuk mencapai tujuan kita, untuk menjadi bahagia, menikmati hidup. Ini yang disebut Pono. Selalu ada jalan lain untuk melakukan sesuatu.

Gagasan ini kemudian diikuti oleh prinsip bahwa rencana kita bukanlah sesuatu yang keramat. Tujuan kita mungkin saja keramat, tetapi cara mencapainya tidak. Bila kita ingin mencapai suatu tujuan, bagaimanapun anda harus menggunakan cara yang sesuai dengan tujuan tersebut.

Bila kita ingin menciptakan kedamaian, maka anda harus menciapainya dengan cara yang penuh kedamaian. Karena anda tidak akan pernah memperoleh kedamaian dengan cara kekerasan, dengan kekerasan anda hanya akan memperoleh kekerasan yang lebih parah, sampai nanti suatu saat orang akan bosan dengan kekerasan lalu bersatu dan menggunakan cara yang penuh kedamaian untuk mencapai perdamaian. Tetapi bila kita memulai kedamaian itu didalam diri kita, maka kita akan menuju kedamaian didalam kehidupan kita, ini adalah benar-benar merupakan suatu kebenaran yang praktis. Cara hidup yang praktis, berdamai dengan diri kita sendiri, dan dengan orang lain.

Ini semua adalah prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang telah dipraktekkan oleh Kapua, ilmu ini disebut Kahuna, ilmu yang berasal dari kepualauan di Pasifik. Ilmu kebijaksanaan untuk dibagikan kepada yang menghendaki, bila anda ingin mempergunakannya, ambil bagian mana saja yang anda sukai, ambil dan pergunakanlah dalam kehidupan anda. Aloha.

HO’OPONOPONO
Proses pengampunan yang paling kuat yang dapat ditemui adalah Ho’oponopono. Secara sederhana, Ho’oponopono berarti ‘membuat sesuatu menjadi benar’ atau ‘memperbaiki suatu kesalahan’, menurut orang Hawaii kuno, kesalahan berasal dari pikiran yang dinodai oleh ingatan masa lalu yang menyakitkan. Ho’oponopono menawarkan suatu cara untuk melepaskan energi pikiran yang menyakitkan atau kesalahan yang menyebabkan ketidak seimbangan dan penyakit.

Orang Hawaii kuno, psikolog dan psikiater ternama, menambahkan sebuah pendekatan psiko-spiritual unutk membuka kekuatan pikiran yang sangat kuat yang disebut Ho’oponopono. Mereka menggunakan pendekatan dinamis ini untuk melepaskan pengaruh negatif dari tindakan masa lalu dan masa kini dalam hidup dengan membersihkan secara spiritual, mental dan fisik melalui proses pertobatan, pengampunan dan transmutasi.

Ho’oponopono merupakan bagian yang tak terpisahkan dari filsafat dan cara hidup mereka. Proses ini menembus setiap jaringan keberadaan mereka – hubungan keluarga dan kegiatan mereka, pendidikan dan pelatihan anak-anak, nilai-nilai sosial, interaksi dan hubungan mereka dengan alam dan kosmos.

Huna adalah istilah Hawaii yang berarti “Tersembunyi” dan berhubungan dengan filsafat dan metoda yang dipergunakan oleh para mistik dan penyembuh sebelum zaman kristen Hawaii. Berasal dari akar kata bahasa Hawaii kuno “Ho’omana mana” yang berarti “menciptakan daya hidup”.

Perjalanan spiritual
Ohana adalah bahasa Hawaii untuk komunitas, biasanya dihubungkan dengan sebuah komunitas pedesaan. Orang Hawaii jaman dahulu mengembangkan ritual mistik dan teknik penyembuhan untuk kesehatan dan keharmonisan Ohana mereka. Disini akan digambarkan kehidupan sebuah Ohana, tetapi mula-mula, santailah, tarik nafas dalam-dalam, bayangkan Anda berada disuatu zaman dan tempat yang berbeda – bayangkan anda berada di masa lalu – bertahun-tahun yang lampau – disebuah desa kecil di Hawaii, Di mana kita hidup bersama didalam sebuah komunitas kecil, dikelilingi oleh suasana misterius dan samudera yang tanpa batas. Kita telah saling mengenal sejak lahir, dan kebanyakan dari kita adalah kerabat. Kita yakin bahwa kita berasal dari dewa yang sama, kita saling mengetahui kemampuan kita masing-masing didalam Ohana kita, juga kita tahu kesulitan-kesulitan dan persoalan mereka. Tujuan utama kita adalah hidup dalam keharmonisan.

Kebijaksanaan dasar kita adalah Aloha, yang secara harafiah berarti “kami saling berbagi nafas kehidupan” – dan kita saling berbagi dalam segala hal. Termasuk dalam Aloha adalah menerima dan menghargai setiap orang dalam komunitas, saling memaafkan (kala) merupakan bagian penting dalam ritual kita sehari-hari.

Kita menghormati dan berterima kasih kepada leluhur kita (kupuna), kepada dewa-dewa kita (akua) dan kepada roh pelindung (aumakua) kita atas apa yang telah kita nikmati. Masing-masing kita mempunyai roh pelindung dan setiap roh pelindung merupakan bagian dari roh pelindung Ohana (Po’e aumakua) yang melindungi komunitas dan lingkungan kita.

Kadang-kadang kita memohon bantuan pada para leluhur atau roh pelindung, dan mereka seringkali mengunjungi kita dalam mimpi, kita mempunyai para tetua yang bijaksana (kahuna) untuk membantu dan membimbing kita. Kita mendambakan keharmonisan diantara kita sendiri, dengan alam, dengan suku tetangga, dan dengan dunia roh. Pemimpin kita (Ali’i) adalah prajurit yang paling bijaksana dan paling berani, mereka mewakili stabilitas dan ketertiban dalam Ohana kita.

Kehidupan sehari-hari kita adalah agama kita, jadi kita menggunakan berbagai ritual untuk melindungi dan menolong diri kita. Kita penuh kehati-hatian agar tidak mengganggu roh-roh, sebaliknya kita berusaha menyenangkannya. Para tetua kita membantu kita dengan memberitahukan mana yang benar dan apa yang dilarang (kapu). Kami membutuhkan energi kehidupan (mana) untuk semua kegiatan, kita menciptakan energi kehidupan ini (ho’o mana) dengan hidup benar. Kita menggunakan upacara khusus untuk mendapatkan energi tertinggi (Ho’omana mana), untuk tugas khusus menyembuhkan dan kekuatan, dengan bimbingan para tetua kita.

Kita menghormati tetua kita sebagai pengawal kebijaksanaan kita dan sebagai guru anak-anak kita, dan kita harus dengan teliti mempelajarinya. Para tetua kita juga akan memilih anak-anak kita sesuai dengan bakat khusus mereka untuk dilatih menjadi ahli Kahuna.

Kami membuat kebutuhan kita sehari-hari, atau berdagang untuk memperolehnya, tetapi kami membuat Canoe dan rumah dengan gotong royong. Kami sering berburu dan bekerja bersama-sama, dan kami dapat berkomunikasi tanpa kata-kata dengan baik. Kami sangat peka terhadap detail dan mengetahui siapa yang berada disuatu tempat atau kalau ada orang asing lewat. Navigator kahuna kita mengenal setiap bintang dan hal-hal baru lainnya, pada malam yang berawan, jauh ditengah lautan, mereka dapat memandu hanya dengan mengecap air laut. Adanya suatu penyakit menandakan ketidakseimbangan di Ohana kita, mungkin orang yang menderita sakit ini telah menyakiti hati seorang anggota keluarga, seorang leluhur atau roh. Kita menyembuhkan penyakit dengan ramuan tumbuh-tumbuhan dan upacara pengampunan (ho’oponopono) dan pengetahuan terpendam (huna) dari ahli penyembuh kami. Kami ingin diterima dan dihargai oleh anggota Ohana lainnya. Bila kami mengundang anda kedalam Ohana kami, kami mempunyai beberapa peraturan sederhana; jangan menghina seorangpun tetapi hormatilah tradisi kami. Jangan melanggar tabu kami, tetapi ikutilah ritual kami. Jangan membuat roh menjadi marah, tetapi bekerja samalah dengan kami dengan harmonis satu dengan yang lain, dan tentu saja dalam keseimbangan dengan alam.

Kami yakin bahwa kami adalah manusia sejati. Anda beradab, dan mungkin bagi anda kami hanyalah manusia biadab yang bodoh, tetapi kami dapat mengajar anda bagaimana hidup dengan harmonis dengan orang lain dan bagaimana anda memperoleh keseimbangan dengan alam dan dengan semesta. Memang jumlah kami tinggal sedikit, karena banyak dari kami telah tersesat kedalam penyakit akal budi, tubuh dan roh yang menyertai peradaban anda. Kami sangat lelah – dan kami hampir punah, memang menyedihkan, karena planet kami membutuhkan cinta dan hormat kami. Kami berjuang agar tetap hidup didalam dunia yang terpencil yang tidak anda kehendaki, tetapi mungkin anda dapat membantu kami untuk pulih kembali.

Pusaka kami adalah keharmonisan dan keseimbangan, pusaka anda adalah teknologi dan informasi, dapatkah anda memikirkan untuk menyelaraskannya dengan cara mencintai kehidupan dan makhluk hidup yang ada didunia ini? Mungkin kita dapat belajar hidup berdampingan untuk menciptakan Ohana Global, sekarang belumlah terlambat….

Source :


Selasa, 10 Agustus 2010

Struktur Insan Dalam Pandangan Qur’aniyah

Oleh Zamzam A. Jamaluddin T dan Tri Boedi Hermawan, Yayasan Paramartha

Terbatasnya pengetahuan para teoritikus kepribadian Barat tentang struktur internal manusia telah melahirkan banyak mazhab kepribadian. Kerangka keilmiahan telah membatasi mereka dalam proses analisis dan sintesis konsepsi kepribadian manusia seutuhnya. Carl Gustav Jung melakukan terobosan dalam membangun psikologi analitiknya, ia melibatkan data-data mitologi dan simbol-simbol agama ke dalam kerangka analisis ilmiahnya. Dalam alur ini, Kecerdasan Spiritual (SQ) dalam proses perumusannya tidak sekadar meninjau keparalelan antara produk saintifik Barat dengan fenomena mistik Timur, tapi tampak memaksakan melakukan interpretasi atas fenomena metafisik spiritual secara fisika dan sains neural, dan ini melahirkan sejumlah paradoks. Paper ini membahas tentang struktur internal manusia berdasarkan kerangka acuan Al-Qur’an, kemudian akan dilihat persoalan apa yang tersentuh oleh konsepsi individuasi Jung dan status SQ dalam peta ini.

1. Pendahuluan
Terumuskannya sejumlah teori kepribadian merupakan cermin dari upaya ilmiah manusia untuk memahami dirinya sendiri secara menyeluruh. Dewasa ini dikenal tiga teori utama yang satu dengan yang lainnya berbeda, yakni teori kepribadian Psikoanalisa (Freud), teori kepribadian Behaviorisme (Skinner), dan teori kepribadian Humanistik (Maslow)[1]. Istilah kepribadian (personality) memiliki banyak arti, ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian, dan pengukurannya. Di antara para psikolog belum ada kesepakatan tentang arti dan definisi “kepribadian”, sehingga banyaknya definisi kepribadian sebanyak ahli yang mencoba merumuskannya. Melihat asal katanya, personality itu sendiri berasal dari kata latin persona yang berarti topeng.

Setiap penggagas kepribadian mengajukan asumsi-asumsi dasar tertentu tentang manusia, yang kemudian hipotesis-hipotesis tersebut mempengaruhi konstruksi dan isi dari teori kepribadian yang disusunnya. Abraham Harold Maslow (1908-1970) memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadap anggapan dasar tentang manusia sebagai makhluk bebas, sementara Sigmund Freud (1856-1939) dan Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) sebagai penganut determinisme berlawanan dengan Maslow, mereka berasumsi bahwa manusia bukanlah makhluk yang bebas melainkan organisme yang tingkah lakunya dideterminasi oleh sejumlah determinan.

Freud menyatakan bahwa determinan manusia berasal dari dalam diri manusia itu sendiri (faktor internal), sementara Skinner menyatakan bahwa faktor-faktor penentu tersebut berasal dari stimulus-stimulus eksternal. Maslow berpendapat bahwa manusia itu makhluk rasional, sementara Freud berpegang pada anggapan dasar bahwa manusia merupakan makhluk yang cenderung irasional, dimana sebagian besar dari tingkah laku manusia didorong oleh kekuatan-kekuatan irasional yang tidak disadari; Skinner dalam hal ini tidak begitu terikat pada hipotesis rasional-irasional.

Tentang motivasi, rumusan Freud bertumpu pada konsep homeostatis, yaitu suatu konsep yang diilhami oleh gagasan kesetimbangan (equilibrium) fisis Leibniz, ia menerangkan bahwa tingkah laku manusia terutama dimotivasi oleh upaya pengurangan tegangan-tegangan internal (memuncaknya energi naluri/insting dari id) yang terjadi akibat ketidakseimbangan fisis. Dalam hal ini Skinner berpendapat bahwa tingkah laku manusia tidak digerakkan oleh agen-agen internal yang disebut naluri, melainkan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Freud dengan psikoanalisanya percaya bahwa misteri manusia akan bisa diungkap seluruhnya melalui upaya-upaya ilmiah, karena pada dasarnya tubuh manusia mengikuti hukum-hukum fisika; Skinner dan segenap behavioris memiliki anggapan yang sama dengan Freud. Berlawanan dengan pandangan di atas, Maslow sepaham dengan William James (1842-1910), seorang filsuf dan tokoh psikologi terkemuka Amerika, bahwa manusia tidak akan bisa diungkap sepenuhnya hanya melalui upaya-upaya ilmiah.

Pelibatan aspek ketaksadaran (unconsciousness) dalam psikoanalisa telah menarik minat Carl Gustav Jung (1875-1961) untuk bergabung dengan Freud. Mengikuti alur Freud, konstruksi dasar psikologi Jung juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan sains dan filsafat Abad ke-19, seperti teori Evolusi Darwin, temuan-temuan arkeologis, dan studi komparatif tentang masyarakat dari budaya-budaya yang berbeda. Tetapi kemudian terjadi pertentangan mendasar antara kedua tokoh besar tersebut. Jung menolak penekanan Freud yang meletakkan dorongan seksual manusia di atas kebutuhannya terhadap makanan, kehidupan spiritual, atau pengalaman-pengalaman religius tertentu. Dia juga tidak sependapat dengan pandangan mekanistik Freud tentang dunia; bagi Jung, karekter manusia tidak hanya dikondisikan oleh apa-apa yang telah terjadi di masa lampau, tapi juga dipengaruhi oleh visi-visi masa depan. Adapun Freud tidak setuju dengan konsepsi Jung tentang collective unconscious, teori ini bertumpu pada pandangan phylogenetic tentang pengalaman-pengalaman masa lampau dari ras manusia yang diwariskan secara individual melalui memory traces.

Teori kepribadian Freud dan Jung mencakup seluruh aspek sadar dan tak sadar dalam diri manusia, untuk membedakan teorinya dengan psikoanalisa Freud, maka Jung menamai teori kepribadiannya dengan istilah psikologi analitik. Individuasi (realisasi diri) merupakan inti ajaran Jung, berkaitan dengan pergeseran titik pusat kesadaran dari ego ke self, dimana gagasan ini dibangun Jung secara transpersonal berdasarkan studi atas simbol-simbol mitologis dan simbol-simbol religius agama Barat maupun Timur. Dengan data-data tersebut, Jung berupaya mencari hubungan antara isi ketaksadaran dalam diri manusia di Barat dengan mite-mite dan ritus-ritus manusia primitif.

Dalam teori Jung, ketika konstruk ego yang terbangun mulai menyadari eksisnya sesuatu selain dirinya yang bersifat irasional, terjadilah konflik batin. Meningkatnya “entropi” psikis di ruang sadar akan direspon oleh permukaan subconscious, dan terjadilah aliran energi psikis (libido), yang arahnya ditentukan oleh prinsip ekivalensi “termodinamika”. Respon dari ‘lautan’ ketaksadaran akan menampakkan diri di level sadar umumnya berbentuk simbol-simbol mandala, yang pada prinsipnya membawa pesan tentang arah dari tertib diri. Dalam praktek klinisnya, Jung melihat bahwa bagian tak-sadar bukan saja bersifat komplementasi (saling melengkapi), tetapi juga kompensasi (saling mengimbangi). Menurut Jung, proses individuasi ini disebabkan oleh potensi-potensi asli yang mengarah pada tujuan tertentu, menuju ke suatu keutuhan psikis yang lebih kokoh. Energi psikis yang terarah pada suatu tujuan tertentu yang bersifat “final” ini mirip dengan pandangan teleologi Aristoteles (384-322 SM), dimana ia menggunakan istilah entelecheia (en=dalam diri manusia; telos=tujuan; echein=memiliki) yang berarti: di dalam diri sendiri terdapat sesuatu yang harus dicapai[2].

Dalam proses individuasi Jung, yang dititikberatkan bukanlah ego melainkan self. Jika Jung menggunakan data-data kejiwaan dalam banyak agama, maka apa hakikat sebenarnya dari ego dan self ini dipandang dari konsepsi batiniah agama seutuhnya? Apa status menjadi pribadi seutuhnya atau menjadi diri sendiri tersebut dipandang dari kerangka agama itu sendiri?

2. Struktur Insan Dalam Pandangan Qur’aniyah
Peta kejiwaan dan mekanisme interaksi antar modus-modus jiwa, dalam kerangka psikologi yang dibangun secara ilmiah, tampak tidak jelas dan banyak menyisakan lubang-lubang di sana sini. Dalam literatur barat sendiri penggunaan istilah-istilah seperti soul, spirit, heart, mind, dan intellect sering campur aduk ketika mengidentifikasi persoalan-persoalan yang bersentuhan dengan konsepsi kejiwaan.

Istilah psycho sendiri yang dipakai dalam konstruk kata psikologi (psychology) berasal dari kata Yunani psyché (Ynch) yang artinya “nafas kehidupan”, dalam mitologi Yunani digambarkan sebagai kupu-kupu. Dalam hal ini, kupu-kupu merupakan perlambang jiwa yang bebas terbang setelah menempa diri dengan “puasa”, keluar dari bungkus kepompongnya. Dua sayap kupu-kupu yang membawa dirinya terbang meninggalkan “bumi” melambangkan dua akal, akal jiwa dan akal raga; dua akal tersebut eksis secara potensial di dalam tubuhnya saat ia sebagai “ulat”, persoalan yang sama dalam representasi yang berbeda bisa dikaji dalam “Alegori Gua” Plato (428-347 SM)[3].

Dalam konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus, animus, dan spiritus[3]. Animus berasal dari bahasa Yunani anemos yang bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus). Maka corpus adalah body (raga/jasad); dan spiritus adalah spirit (ruh); dan animus identik dengan psyche yang bermakna soul (jiwa/nafs). Dewasa ini istilah jiwa yang dipakai dalam psikologi telah mengalami penyempitan makna. Jiwa dalam terminologi psikologi modern lebih ke aspek psikis, dimana aspek psikis ini lebih merupakan riak gelombang permukaan di atas lautan dalam yang disebut jiwa. Fungsi ruh terhadap jiwa dan fungsi ruh terhadap jasad bisa dilihat dalam referensi[4].

Dalam terminologi Qur’aniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran disebut nafs menjadi target pendidikan Ilahi. Istilah nafs didalam Islam sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam konteks Qur’ani memiliki wujud dan hakekat tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan an-nafs amara bissu’ dalam surat (Yusuf [12]: 53) adalah nafs (jiwa) yang belum dirahmati Allah SWT:

“Dan aku tidak membebaskan nafsku, sesungguhnya nafs itu cenderung mengarah kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku.”

Hawa merupakan kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih abstrak. Hawa merupakan entitas, produk persentuhan antara nafs dan jasad. Sedangkan syahwat merupakan kecenderungan manusia pada aspek-aspek material (AliImran [3]: 14), dan ini bersumber pada jasad insan yang wujudnya memang disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api).

Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds. Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi dan mengikuti hukum-hukum alam Jabarut. Aspek ruh ini (jamak arwah) tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahadah ini—maka tak ada istilah tazkiyyatur-ruhiyyah atau mi’raj ruhani.

Al-Ghazali dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan istilah-istilah seperti qalb (rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis), nafs, ruh, dan ‘aql; dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang ketaksadaran.

Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.

“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Ayat tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad (misykat)-nya terdapat nafs (jiwa) yang qalb (zujajah)-nya bercahaya seperti bintang karena telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh al-Quds (misbah). Adapun misykat sifatnya kusam dan tak tembus pandang, sebagai perlambang jasad yang berasal dari alam mulk (ardhiyah), merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam alam syahadah.

Bola kaca zujajah yang jernih tembus pandang melambangkan qalb, merupakan aspek rasa dari si nafs yang berasal dari alam malakut. Si nafs melakukan serangkaian proses tazkiyyatun-nafs (pensucian jiwa) sehingga jernihlah qalbnya dan tampaklah titik-apinya menyala di inti jiwa. Jika insan dapat mencapai state seperti digambarkan An-Nur [24]: 35, maka insan tersebut dinamai syuhada (saksi Allah sejati) karena telah berperan sebagai cahaya yang menampakkan khazanah Ilahi sebagai Harta Terpendam (Kanzun Makhfiyan)[6]. Ayat di atas menyatakan struktur target yang harus manusia capai walau sulit.

Rasulullah SAW menyinggung tentang eksistensi jiwa (nafs) yang qalbnya telah diperkuat oleh api Ruh al-Quds, sebagai berikut:
“Qalb itu ada empat macam, pertama, qalb yang bersih, di dalamnya terdapat pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalb al-mu’min; kedua, qalb yang hitam terbalik, itulah qalb orang kafir; ketiga, yang terbungkus dan terikat pada bungkusnya, itulah qalb orang yang munafik; dan keempat, qalb yang tercampur, di dalamnya terdapat iman dan nifaq.”

Ruh al-Quds yang dilambangkan oleh pelita yang menyala di dalam qalb, merupakan utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (amr) si nafs di dunia ini. Pengutusan rasul yang batin ke dalam inti dari nafs ini lebih dari sekedar simbol bahwa pengabdiannya diterima (diridhai). Ruh al-Quds merupakan juru nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan ruh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah. Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini ruh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) amr.
“Dialah yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang al-mu’min, agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada” (Al-Fath [48]: 4).
“Apabila Allah menghendaki kebaikan (khairan) atas seorang hamba, maka diadakannya pemberi pelajaran dari qalb-nya” (Rasulullah SAW).
“Barang siapa memiliki juru-nasehat dari dalam qalbnya, berarti Allah telah memberi seorang penjaga (hafidh) atasnya” (Rasulullah SAW).
“Seandainya syaithan-syaithan tidak mengelilingi qalb anak Adam, niscaya mereka dapat melihat ke malakut langit” (Rasulullah SAW).

Qalb menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa nafsu, mengingkari dan mendustakan kebenaran (al-haq). Hati yang seperti ini akan memandang bagus atas segala yang mereka kerjakan, karena tertutup ilusi dan waham syaithan. Adapun qalb si munafik terikat pada bungkus jasadiyah, merupakan qalb yang terlalu mencintai dunia (terikat kepada syahwat jasmaniah); pandangan batinnya tertipu oleh nilai-nilai estetik fisik dengan tanpa melihat hakikatnya, maka ia bisa ‘menjual’ agamanya demi kesenangan sesaat.

Seperti telah diulas tadi, bahwa si nafslah yang menjadi fokus pendidikan Ilahi. Alam dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah jenjang ’sekolah dasar’, Rasulullah SAW berkata bahwa alam dunia ini hanyalah sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua alam besar, dan si nafs diuji dalam pengembaraannya di ‘oase’ ini; sementara ia harus menyelesaikan sejumlah jenjang ’sekolah lanjutan’ lagi. Di alam dunia, jasad atau raga insan berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan al-haq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya. Si nafs harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.
“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di ufuk (semesta) dan di dalam nafs masing-masing, hingga jelaslah bagi mereka itu bahwa itu adalah al-haq” (Al-Fushshilat [41]: 53).
“Tiap segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya” (Al-Qashash [28]: 88).


Sebelum memahami bahwa Dia ada di mana-mana dan Dia lebih dekat dari urat leher, maka si nafs harus melihat kepada aspek wajah-Nya berupa Al-Haq; ia harus melihat bahwa hakikat dari segala sesuatu di alam semesta, berupa ayat-ayat Kauniyyah, adalah al-haq; juga hakikat dari apa yang ada di dalam nafs-nya tak lain adalah al-haq yang mengalir dari Martabat Ilahi. Sebelum si nafs dimasukkan ke dalam kurungan jasad (corpus) janin di dalam rahim ibu, maka si nafs dipanggil terlebih dulu ke hadapan Allah SWT, katakanlah ini adalah status nafs ketika di alam Nur atau alam Alastu.

“Dan ketika Rabb-mu hendak mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi mereka, dan Allah telah mengambil kesaksian atas nafs-nafs mereka, ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ mereka menjawab ‘Benar! Kami menyaksikan’ Agar di hari kiamat kamu tidak berkata: ‘Sesungguhnya kami lengah (atas kesaksian) ini’” (Al-Araf [7]: 172).

Sebelum nafs diturunkan di alam dunia, maka dalam kesaksian ini qadha dan qadarnya ditetapkan terlebih dahulu: “amal-amal insan dikalungkan pada ‘leher’nya” (Q.S Al-Isra’ [17]:13). Ketetapan-ketetapan ini berupa misi hidup (swadharma) yang harus dimanifestasikan di muka bumi, ini merupakan amanah Allah yang telah digariskan sesuai dengan bakat langit si nafs (swabhawa), misi hidup setiap insan bersifat unik tidak ada yang sama satu dengan lainnya. Misi (dharma) si nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam dharma si nafs, karena bakat langit (swabhawa) si nafs merupakan fitrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena qalb-nya terpendam dosa.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-Din. Fitrah Allah, yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah ini, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Inilah ad-Diin yang teguh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-Ruum [30]: 30).

Jika tanpa Rahmat Allah SWT, ketetapan-ketetapan Allah yang tertulis di dada si nafs tidak akan terbuka, dan ini merupakan rizqi batin manusia yang kuncinya ada di dalam nafs. Sementara untuk mencapai ini sulit karena harus menggeser pusat kesadaran dari ego ke nafs (self).

Dari alam Nuur, setelah 120 hari penyusunan janin bayi, maka nafs yang telah diamanahi qudratullah beserta ruh yang akan mengisi jasad si bayi diturunkan. Di sini si nafs berada dalam tiga kegelapan.

“Kemudian Dia menyempurnakan (janin), dan meniupkan kedalamnya ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagimu, pendengaran, penglihatan, dan fu’ad, tapi sedikit di antara kamu yang bersyukur” (As-Sajdah [32]: 9).

“Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu tahap demi tahap dalam tiga kegelapan” (Az-Zumar [39]: 6).

Bagi si nafs sewaktu masih di dalam rahim, kegelapan pertama adalah wadah jasadnya sendiri, lapis kegelapan kedua adalah jasad ibunya, dan kegelapan ketiga adalah penjara alam dunia yang bersifat material.

Maka ketika nafs dilahirkan via jasmani raganya ke alam dunia, nafs yang sudah terpenjara oleh tabiat-tabiat jasadnya kemudian harus bertumbukan pula dengan cakrawala dunia ‘bawah’. Maka nafs yang berasal dari cahaya Ilahi (bersifat metafisika) fu’ad-nya menjadi cenderung senang untuk di-rule dan diracuni oleh tabiat-tabiat dan implikasi-implikasi hukum fisis.

Merujuk ke Al-Ghazali[5], dimana beliau menggunakan terminologi qalb sebagai modus nafs, bahwa nafs memiliki dua jenis tentara, tentara lahir dan tentara batin. Tentara lahir adalah jasad, khususnya indera-indera yang secara langsung mencerap alam syahadah. Perangkat jasadiyah ini merupakan delapan pasang aspek ‘ternak’ yang harus digembalakan; ingat bahwa jasad merupakan ‘kuda’ tunggangan bagi nafs yang terlebih dulu harus ditundukkan dan digembalakan.
“Dia menciptakan dari nafs wahidah, kemudian mengadakan darinya pasangannya, dan menurunkan bagimu delapan ternak yang berpasang-pasangan.” (Az-Zumar [39]: 6).

Kedelapan aspek ‘ternak’ yang harus dikendalikan si nafs meliputi :

1. sepasang mata untuk penglihatan.
2. sepasang telinga untuk pendengaran.
3. sepasang lubang hidung untuk penciuman.
4. sepasang tangan untuk memegang.
5. sepasang kaki untuk berjalan.
6. indera pengecap pada lidah yang dipasangkan dengan perut untuk syahwat makan dan minum.
7. pasangan fungsi mulut dan laring untuk bersuara dan berkata-kata.
8. pasangan farji dan indera peraba untuk reproduksi.

Setiap ternak (an’aam) pada prinsipnya memiliki delapan aspek di atas sebagaimana dimiliki manusia, yang difungsikan oleh aspek ‘otak’ yang secara fisis dibuat berpasangan pula. Hewan ini memiliki daya (nafas Ruh) yang menghidupkan tubuhnya, tapi mereka tidak memiliki nafs yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan dirinya. Karena nafs manusia membawa fu’ad (mind, aspek akal jiwa), maka bagi manusia sepasang otaknya (yang wujud fisiknya tak berbeda dengan ternak) selain menjadi pusat syaraf untuk mengkoordinasi tubuh, juga menjadi pusat pikiran yang ini justru sering menjadi faktor utama yang membawa ‘kejatuhan’ manusia. Faktor pikiran ini (yang merupakan aspek permukaan dari fu’ad) yang akan secara efektif mengkonstruk apa yang secara psikologis disebut ego.

Apa yang disebut ego ini merupakan ‘kepala’, bagi apa yang disebut oleh Al-Ghazali sebagai tentara batin. Apa yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai hawa (hawa nafsu) adalah keluar dari tentara batin ini; karena sifatnya plural, bersifat non-material, melekat pada nafs (seperti minyak di atas permukaan air), dan mengeluarkan hawa (kecenderungan-kecenderungan yang tidak sejalan dengan orbit jiwa), maka diberi istilah nufusul-hawiyyah.


Jika si nafs lumpuh karena dosa-dosa yang dimasukkan jasad lewat pintu-pintu indera dan pikiran, maka kepribadian insan dipegang oleh ‘kepala’ dari tentara batin: ego. Ego ini jika dikendalikan nafs sebenarnya merupakan perangkat yang sangat penting bagi nafs untuk menjalankan kodrat dirinya. Jika nafs disembuhkan dengan Rahmat Allah Ta’ala, maka pusat kesadaran dan kepribadian secara bertahap akan bergeser dari ego ke nafs; konstruk ego yang salah-bentuk akan segera diruntuhkan nafs untuk dikonstruk ulang menjadi bentuk baru yang lebih sesuai dengan kepentingan dharma si nafs. Karena entitas nufusul-hawiyyah ini berasal dari kekuatan amr yang dibawa si nafs yang menemukan padanannya di hissiyah jasadiyyah secara unik, maka rekonstruksi ego dari setiap manusia akan berbeda satu sama lain.



Ego dibentuk dan ditumbuhkan melalui fikiran oleh dua kekuatan, pertama persepsi inderawi yang bersifat syahwati, dan kedua oleh hawa nafs. Interaksi timbal balik dua kekuatan ini melalui link ego menjadi cenderung memperkuat satu sama lain dan membangun kompleks-kompleks sayyi’ah jiwa. Manusia digelapkan qalb-nya dan dilumpuhkan nafs-nya oleh dua perkara yaitu cinta dunia dan mempertuhankan hawa.

“Berkata ia,’Ya Rabbi, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) adalah seorang yang melihat?’” (Thaha [20]: 125).

“Karena sesungguhnya bukanlah matanya yang buta tetapi qalb yang di dalam dada” (Al-Hajj [22]: 46).

“Yang demikian itu disebabkan oleh karena mereka mencintai kehidupan dunia di atas akhirat… Mereka itulah yang qalb, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka adalah orang-orang yang lalai” (An-Nahl [16]: 107-108).

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain bagaikan ternak bahkan lebih tersesat jalannya” (Al-Furqaan [25]: 43-44).

“Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat akan buta pula dan lebih tersesat jalannya” (Al-Isra [17]: 72).

Bila nafs dirahmati Allah Ta’ala, maka secara bertahap indera-indera batinnya mulai bangun dan menguat, karena hijab-hijab dosa di qalb-nya mulai tanggal. Si nafs yang telah tumbuh kuat akan segera melakukan proses penggembalaan dan pendidikan atas tentara lahir dan tentara batinnya.

“Dan adapun mereka yang takut akan maqam Rabb-nya dan menahan nafsnya dari hawa” (An-Naazi’at [79]: 40).

Jika ego tidak dikonstruksi-baru oleh nafs, maka akan menjadi pabrik penghasil sayyiah, dimana ‘racun’ hati ini secara efektif dapat mematikan qalb. Kesadaran, secara psikologis, berpusat di ego, sementara qalb dan nafs berada di bawah level kesadaran atau di ketaksadaran (unconsciousness).

Jika hijab kompleks dan sayyiah lenyap, maka ego akan mengorbit ke nafs dan memperluas bidang kesadaran. Ketika ego di bawah kontrol nafs maka kekuatan syahwat dan hawa akan berada di bawah kendali amr si nafs, dan ketika pusat kesadaran berpindah ke nafs maka nafs menjadi pusat kepribadian yang bersifat utuh mencakup baik level sadar maupun level tak sadar. Dengan berkiblatnya ego ke nafs maka seluruh indera jasad berada di bawah kontrol nafs dan qalb, disini inderawi dan pikiran memperoleh kekuatan tambahan berupa aspek ruhani yang berpusat di qalb, manusia menjadi berfikir dan ber-‘aql dengan qalb-nya.

“Qalb bagaikan raja, jika shalih rajanya maka shalih pula tentara-tentaranya, dan jika jahat rajanya maka jahat pula tentara-tentaranya.” (Rasulullah SAW)

Jika cahaya qalb tidak menyentuh ego dan pikiran, maka pada hakikatnya manusia belum mengenal qalb-nya apalagi memfungsikannya. Karena qalb tak berfungsi, maka manusia tersebut dikatakan belum memiliki qalb (buta hati) kecuali hati jasmaniahnya saja, dan hanya memiliki satu akal yaitu pikirannya saja.

“Mereka memiliki qalb tetapi tidak digunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak digunakannya untuk mendengar, mereka seperti ternak bahkan lebih tersesat” (Al-A’raf [7]: 179).

Dengan transformasi akal dari ego ke lubb, maka kesadaran seseorang ditransformasi terus-menerus hingga menyentuh Lathifah Ilahiyah, sehingga qalb-nya “melihat” al-haq dimana-mana (Al-Fushshilat [41]: 53). Dalam dunia tashawwuf, hirarki ‘uruj kesadaran batin mencakup tujuh proses

Dalam proses ini, tahapan insan untuk memenuhi struktur yang dituntut oleh An-Nuur [24]: 35 menjadi terlampaui. Ini adalah proses manusia untuk mengenal Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya.

“Barangsiapa mengenal nafsnya maka akan mengenal Rabb-nya.” (Rasulullah SAW)

Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs maka instrumen mata dan telinga batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala akan mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan dengan sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa (lubb). Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albaab, dan hanya Ulul-Albaab yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta.

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albaab” (Al Baqarah [2]: 269).

Proses ‘uruj tadi merupakan proses taubat, dimana makna taubat adalah perjalanan kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat (kembali kepada Allah) maka itu baru awal dari hidayah (pemberian petunjuk), dan siapa yang tidak mencari Allah (tidak bertaubat) maka mendzalimi dirinya sendiri.

“Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu rizki dari langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang bertaubat(kembali).” (Al-Mu’min [40]: 13)

“Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk” (Thaha [20]: 82).

“Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (Al-Hujurat [49]: 11).
=================================================================


3. Apa Yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik
Seperti yang telah diulas tadi bahwa yang menarik dari psikologi analitik C.G. Jung terutama konsep individuasinya, suatu proses menjadi diri sendiri atau realisasi diri. Konsepsi ini dibangun Jung secara transpersonal dengan melibatkan khususnya simbol-simbol religius dari mitologi-mitologi kuno dan terutama agama-agama Timur.

Wajar Jung memperoleh inspirasi individuasi ini dari simbol-simbol agama karena tidak ada satu agama besar pun yang meluputkan aspek spiritual penemuan-diri. Aspek batin dari setiap agama dalam upaya mencari kebenaran sejati dan kedekatan dengan Sang Pencipta selalu melalui proses transformasi diri. Tidak ada satu kaum atau suatu peradaban pun, baik besar maupun kecil, kecuali diturunkan di situ rasul-rasul-Nya (Ibrahim [14]: 4), meski representasi ritualnya berbeda-beda tapi esensi dan tujuan sejati dari setiap agama yang diturunkan Dia selalu sama. Proses pengenalan kepada Tuhan selalu diawali dengan proses pengenalan-diri, bahkan tujuan pengetahuan itu sendiri adalah untuk mengenal-diri.

Beberapa agama (terutama Hindu dan Buddha) terkadang sangat menonjolkan proses transformasi kejiwaan ini, agama Kristen lebih menonjolkan oknum spiritualnya (Ruh al-Quds), dan agama Islam menonjol dalam implementasi dharma; singkatnya tidak ada satu agamapun (sepanjang berasal dari Sang Pencipta) kecuali membawa ajaran terpenting, yaitu amr penemuan-diri [7]. Agama-agama itu berhubungan satu dengan lainnya, dalam hal ini kitab-kitabnya, masing-masing memiliki peran yang berbeda dan saling berkompelemen satu sama lain dan membentuk suatu bangunan utuh; seperti diisyaratkan Nabi Muhammad SAW bahwa beliau merupakan batu-bata terakhir yang melengkapi dan menggenapi Ka’bah, sementara batu-bata yang lain dalam bangunan melambangkan Nabi-Nabi bagi umat-umat yang lain, agama telah tertutup dan Islam adalah agama terakhir sebagai penyempurna.

“Dan mereka yang beriman kepada (Kitab) yang telah diturunkan kepadamu dan kepada (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan akhirat.” (Al-Baqarah[2]:4)

Bagi Jung, kepribadian (personality) itu harus mencakup keseluruhan aspek sadar (consciousness) dan tak sadar (unconsciousness) yang ada di dalam diri manusia, maka jelas ego bukanlah perwakilan dari kepribadian total yang ia sebut sebagai psyche. Dalam psikologinya, ego merupakan pusat bidang kesadaran sekaligus subjek bidang kesadaran. Sebagai subjek, maka ia berfungsi aktif dalam menghubungkan isi-isi psikis sehingga dapat disadari. Seluruh pengalaman kita menyangkut dunia luar maupun dalam harus melalui ego agar disadari. Ego tidaklah mencakup seluruh bidang kesadaran, ego hanyalah ‘titik referensi’ bagi ruang tersebut. Jadi, ego merupakan bagian dari kepribadian dan bukan seluruh kepribadian.

Menurut Jung, manusia dilahirkan dengan membawa ketotalan (wholeness), atau dengan membawa potensi untuk menjadi total, dan tujuan akhir dari hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kondisi optimal dari ketotalan:

Personality is the supreme realization of the innate idiosyncrasy of a living being, it is an act of high courage flung in the face of live, the absolute affirmation of all that constitutes the individual, the most successful adaptation to the universal conditions of existence coupled with the greatest possible freedom for self-determination. [8]


Jung mendefinisikan bahwa di dalam ruang ketaksadaran itu sendiri terdapat dua jenis ketaksadaran, pertama ketaksadaran pribadi (personal unconscious), dan kedua adalah ketaksadaran kolektif (collective unconscious).

Pengalaman-pengalaman yang ditekan (suppressed) atau berusaha dilupakan akan mengendap di personal unconscious. Di dalam personal unconscious, segala apa yang diendapkan tadi saling berinteraksi membentuk ide-ide baru, grup dari beberapa ide bisa meng-cluster bersama membentuk apa yang oleh Jung disebut kompleks (complex). Secara umum kompleks ini bersifat unconscious walaupun elemen-elemennya dapat menjadi conscious sewaktu-waktu.

Adapun collective unconscious merupakan konsepsi yang kontroversial. Ini merupakan cetak biru yang diwariskan bukan saja secara fisik (genetik) tapi juga secara psikis.

The collective unconscious is composed of primordial images (thought-forms or memory traces from our ancestral past) not only our human past but also our pre-human, animal ancestry. [8]

Apa yang diwariskan bukan berupa memori-memori atau ide-ide spesifik, tapi lebih ke prediposisi atau potensial-potensial dari ide-ide tertentu. Collective unconscious mengandung hampir sejumlah tak terbatas citra-citra (images), atau bentuk-bentuk pemikiran. Isi dari collective unconscious ini disebut Jung sebagai arketipe-arketipe (archetypes). Jung mengidentifikasi dan mendeskripsikan banyak arketipe, misalkan: ide kelahiran, ide kematian, ide kepahlawanan, ide iblis, ide Tuhan, ide orang bijak, ide binatang, dan sebagainya. Di antara banyak arketipe, yang terpenting dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku adalah persona, anima dan animus (syzygy), shadow, dan self.

Kondisi fisik seseorang yang tidak sesuai dengan harapan syahwatnya sering mempengaruhi watak dan tingkah lakunya, sehingga membentuk kompleks baru yang secara bawah sadar men-drive ego-nya semakin menjauhi self. Psikoanalisa Freud banyak menganalisis dampak psikis dari persoalan ini. Bentuk fisik diturunkan secara genetik dan problem psikis yang sama bisa terulang kembali, dan seterusnya. Tampak terjadi interaksi dan konflik antara struktur internal yang masih gelap dalam psikologi dengan faktor eksternal yang terukur, perwatakan dan tingkah laku manusia yang terlihat lebih mencerminkan sisa-sisa perang di interface psikis atau di ego. Secara psikologis, minimal ada tiga faktor yang berinteraksi yang produknya tampak di aspek psikis, pertama faktor yang terkait fisik, kedua kondisi atau warna lingkungan eksternal, dan ketiga faktor internal. Meski dampak psikisnya terukur, oknum dari aspek psikis ini tampak lebih terletak di personal unconsious dan di batas antara sadar dan tak sadar.

Sebagai catatan, menurut Jung terdapat dua aspek penting kepribadian yang bekerja di level sadar (consiousness), attitudes dan functions. Attitudes, atau orientasi, secara umum terbagi dua, yaitu ekstraversi (extaversion) dan introversi (introversion). Orang yang bertipe ekstravert lebih dipengaruhi oleh dunia objektif, dunia di luar dirinya. Orientasinya tertuju ke luar, ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun non-sosial. Sebaliknya, orang introvert lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasinya ditentukan oleh faktor-faktor subjektif. Menurut Jung, antara ekstraversi dan introversi terdapat hubungan yang saling mengimbangi (kompensatoris). Tentang functions (”fungsi jiwa”), Jung membagi empat, yaitu: thinking, feeling, sensing, dan intuiting.

Jika aspek genetik fisik itu diwariskan, apakah aspek psikis juga diwariskan? Apakah aspek psikis seseorang beresonansi atau mempengaruhi struktur genetik sehingga terwariskan? Secara fenomenologis karakter dan perwatakan seseorang bisa diprediksi dari bentuk fisiknya. Dalam lingkup metafisika Timur, misalnya dalam konsepsi I Ching (Kitab Perubahan) Taoisme dan Hindu, kepribadian seseorang bukan hanya berinteraksi dengan bentuk fisiknya tetapi juga berhubungan dengan ruang dan waktu tempat ia dilahirkan. Sekali lagi, yang menjadi kuncinya adalah pengetahuan tentang struktur internal.

Gelapnya pengetahuan manusia tentang struktur internal dan lemahnya metode ilmiah untuk melakukan pemetaan aspek ini memunculkan berbagai madzhab psikologi kepribadian. Freud dan Jung menempatkan faktor internal ini sebagai ‘lautan’ ketaksadaran. Freud membuat hipotesis tentang id, dan ego lebih merupakan alat id untuk menyalurkan hasrat-hasrat internal yang tak jelas bentuk dan sumbernya, ego juga mengambil nilai-nilai eksternal untuk membangun superego agar kepribadian totalnya bisa ’survive’ tanpa konflik. Meski gelap bagi Freud, tetapi ia sangat melihat betapa besarnya pengaruh dari faktor internal ini.

Jung berani untuk melakukan pemetaan faktor internal ini dengan mengajukan gagasan kontroversial collective unconscious. Dengan data fenomenologis yang lebih ‘terbuka’, Jung membangun hipotesis ini dengan mencoba menyulam data-data produk saintifik dengan aspek-aspek metafisik. Maka seperti halnya Freud, tentang naluri-naluri (insting) hewani, arketipe shadow-nya Jung sangat mencerminkan masuknya gagasan evolusi Darwin dan informasi-informasi ilmiah dari sains zamannya, terutama fisika. Arketipe Jung sepintas mirip dengan pengetahuan recollection dari alam idea-nya Plato[3], atau ilmu tashawwur-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240) yang berkaitan dengan alam ‘khayal’ dari nafs. Tetapi konstruksi Jung tidak menyentuh aspek nafs (soul) dalam arti yang sebenarnya, selain meletakkan data-data fenomena spiritual dalam kerangka psikologi psikis.

Dalam paradigma tashawwuf, karena subjek pendidikan Ilahi adalah si nafs dan konstruk jasad insan hanyalah perpanjangan atau bayangan terbatas dari nafs ini, maka kepribadian si nafs tidak boleh terberangus oleh aspek jasadiah (tentara dzahir qalb), juga oleh aspek psikis yang bertautan dengan tentara batin qalb. Kepribadian nafs adalah kepribadian insan yang sebenarnya yang menjadi cermin bagi khazanah Ilahi, maka ia harus bisa lepas dari kurungan syahwat dan hawa.

Dalam terminologi Al-Qur’an, nafs bukanlah “kertas putih” yang diturunkan, tapi dalam dadanya telah membawa catatan amr yang mesti ia ejawantahkan, dan catatan ini berkaitan dengan persoalan alam idea-nya Plato atau alam khayal-nya Ibnu ‘Arabi. Yang pasti terdapat hubungan antara pengetahuan bawaan si nafs dengan alam tempat ia menjalankan dharma-nya. Fungsi alam syahadah adalah untuk memancing amr yang ‘tertulis’ dalam dada nafs itu keluar dan termanifestasi di tingkat amaliah jasad, dan yang ia manifestasikan pada dasarnya ‘perkara besar’ karena merupakan Harta Terpendam Ilahi. Ini adalah amanah Ilahi yang sesungguhnya, dan proses menjadi saksi Allah dalam arti yang haq. Dan apa yang disebut bakat atau kemampuan seseorang secara psikologis hanyalah gaung dari urusan spesifik yang si nafs bawa. Indra tubuh, ego dan aspek psikisnya, juga fikiran hanyalah alat bagi si nafs untuk menjalankan urusannya. Apa yang Jung lihat secara fenomenologis dan ia definisikan sebagai syzygy, atau aspek anima dan animus dalam pribadi manusia, juga berkaitan dengan konsepsi ummul-kitab dan kitabul-mubin dari persoalan nafs dengan ‘aql-nya.

Arketipe (archetype) yang terlibat langsung dalam proses individuasi atau realisasi diri adalah self, dimana arketipe ini dengan aksi jarak jauhnya (fungsi transenden) memotivasi ego untuk menjadi pribadi yang utuh, yang meliputi sisi sadar dan sisi tak sadar. Fungsi transenden adalah fungsi kunci dalam proses individuasi dan merupakan cara khas bagaimana arketipe self mulai mewujudkan diri. Fungsi transenden bekerja lewat lambang-lambang, dimana lambang merupakan unsur paling pokok dalam psikologi analitik, dan dengan cara seperti ini manusia mulai kontak dengan ketaksadarannya (unconsciousness)[2]. Maka fenomenologi tentang self adalah fenomenologi tentang lambang-lambang dari self. Menurut Jung, fungsi pokok dari lambang adalah bahwa lambang menggabungkan yang sadar dan tak sadar sebagai conjunxio oppositorum (perpaduan unsur-unsur yang berlawanan). Lambang adalah sarana untuk mencapai “tepi laut seberang” (pantai yang lain). Lambang menunjuk ke sesuatu yang belum dikenal yang untuk sementara tidak dapat diungkapkan kecuali lewat lambang. Yang dititikberatkan Jung adalah bahwa lambang itu mengandung arah waktu, menunjuk kepada proses-proses yang masih tersembunyi dan yang ingin menjadi tampak dan terwujud.

Lambang paling istimewa bagi self adalah apa yang dalam bahasa Sanskerta disebut mandala. Jung meneliti lambang-lambang ini selama hampir empat belas tahun, sebelum ia memberanikan diri menafsirkannya. Jung melakukan penelitian-penelitian ekstensif tentang mandala yang ia temukan di dalam semua kebudayaan, dalam agama-agama Barat dan Timur, juga pada pasien-pasiennya, khususnya lambang-lambang mandala ini muncul pada pasien-pasiennya yang berusia 40 tahun. Konstruk mandala merupakan susunan konsentris dari bangun-bangun geometris, bisa berupa bangun lingkaran-lingkaran konsentris, atau segiempat-segiempat konsentris, atau perpaduannya.

Banyak kebudayaan arkais menunjukkan struktur mandala dalam tarian-tariannya, upacara-upacara, bangunan-bangunan rumah, dan tempat-tempat religiusnya. Mandala yang paling indah dan paling sempurna terdapat pada kebudayaan Timur, khususnya dalam Buddhisme Tibet, juga pada candi-candi Hindu dan Buddha. Pada umumnya pada pusat mandala terdapat tokoh-tokoh agama tertentu, seperti Siwa, Buddha, dan Kristus. Jung berpendapat bahwa mandala mempunyai arti ‘metafisis’ dan merupakan simbol transformasi atau jendela menuju Keabadian. Karena mandala melambangkan self, maka self, kata Jung, merupakan Imago Dei (Citra Tuhan).

Dalam dunia tashawwuf, konstruk mandala telah lazim dikenal oleh para Shufi, bentuknya bisa berupa tujuh lingkaran konsentris, empat lingkaran konsentris atau empat bujur sangkar konsentris, atau bisa lebih rumit dari itu. Tujuh lingkaran melambangkan tujuh langit jiwa dengan titik pusatnya melambangkan Ruh al-Quds. Empat lingkaran konsentris melambangkan tingkatan jiwa jasmaniah, jiwa ruhaniah, jiwa rahmaniah, dan jiwa rabbaniah yang duduk di lantai keempat[12]. Makna Rabbaniyah identik dengan makna Brahmana pada agama Hindu yang telah mengalami pergeseran makna dari kasta (maqamat) kejiwaan menjadi kasta sosial. Dalam dunia suluk, hanya tingkat Rabbaniyah yang bisa bertemu Ruh al-Quds tanpa termusnahkan oleh kuat cahayanya [4].

Intinya, pusat mandala merupakan kutub alam semesta zamannya, seseorang yang telah diperkuat dengan Ruh al-Quds di tingkat Rabbani dan memegang jabatan Quthb. Dan seperti telah kita bahas bahwa manusia yang memenuhi struktur An-Nuur [24]: 35, artinya yang telah diperkuat dengan Ruh al-Quds, merupakan Citra Ar-Rahman.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa self yang didefinisikan Jung tak lain adalah nafs (jiwa, soul), ini berarti tidak semua self menyandang pangkat Imago Dei, kecuali self yang sudah duduk di pusat mandala. Dan dengan terputusnya data agama, konsepsi Jung tentang self berhenti di Imago Dei.

Konsepsi transformasi kejiwaan dalam khazanah Islam sebagai agama penyempurna, bisa membantu membuka kembali arah dari persoalan ini dalam khazanah batin agama-agama pra-Islam. Bagi Jung, gagasan individuasi bisa membantu memberi arah pada terapi pasien-pasiennya, tapi simbol-simbol mandala yang dilihat dalam ruang kesadaran (consious) pasien sebagai isyarat dari nafs atau self di ruang bawah sadar (unconscious), menjanjikan suatu kesadaran dan kebahagiaan yang jauh lebih tinggi dari apa yang Jung dan si pasien sadari. Metode terapi Jung tidak memadai untuk memenuhi apa yang diseru dan dituntut oleh self, juga tidak memiliki perangkat ukur untuk melihat tahapan-tahapan pengorbitan ego menuju self (nafs). Tetapi Jung berpendapat benar bahwa kepribadian yang utuh terletak di self atau jiwa (nafs), dan bukan di ego. Dan pengenalan atas nafs adalah awal pengenalan kepada Tuhan.
==================================================================



4. Status Kecerdasan Spiritual SQ
Seperti halnya dalam kasus psikologi analitik, SQ merupakan salah satu produk yang mencerminkan samarnya pengetahuan manusia Barat tentang aspek internal manusia yang terfokus di self atau nafs, dan SQ sendiri tampak dipengaruhi kuat konstruksi-konstruksi C.G.Jung yang dibangun secara transpersonal. Seperti telah dibahas tadi bahwa urusan yang dibawa setiap nafs berbeda satu dengan lainnya, maka potensi-potensi yang Sang Pencipta berikan kepada tiap-tiap manusia yang meliputi seluruh aspek lahir dan batinnya tidak pernah ada yang sama. Ada kaitan erat memang antara bakat fisik manusia dengan amr jiwanya, karena memang si jasad tak lain merupakan perpanjangan jiwanya, maka urusan si jiwa akan memanjang ke jasad.

“Manusia itu dimudahkan atas suatu yang untuk itu ia dicipta.” (Rasulullah SAW)

“Carilah pekerjaan yang kamu tidak bekerja.” (Confucius)

Manusia dimudahkan dalam jalannya masing-masing dan tidak diberi beban melainkan apa yang mampu ia pikul, tapi ego manusia cenderung memilih jalan yang justru ia menjadi bekerja keras di situ, tidak berjalan dengan energi minimalnya. Bukankah alam semesta itu hadir/wujud dalam energi minimalnya? Dharma atau misi hidup setiap manusia itu bekerja dalam energi minimalnya, dimudahkan untuk apa ia dicipta. Gagasan Lao Tzu tentang jalan Tao adalah bicara tentang ini; dan alam semesta hidup mengalir mengikuti sungai Tao, ini adalah tasbih, dan setiap insan diwajibkan bertasbih. Hal yang sama demikian kentara dalam ajaran Zen (ordo Buddha) dan Baghavad Gita (Veda Hindu) misalnya, demikian pula apa yang diseru dalam setiap agama yang lain termasuk Islam.

Kalimah aslama konstruk dasar dari Al-Islam bermakna berserah-diri mengikuti kehendak-Nya; kalimah sabaha konstruk dasar dari tasbih bermakna mengalirkan diri atau menghanyutkan diri dalam sungai Kuasa-Nya. Jika manusia mengerjakan dharma-nya, maka segala sesuatu yang menyangkut urusannya akan dimudahkan di tangannya, dimana itu sulit bagi selain dirinya. Seperti sabda Rasulullah saw.:

“Bila urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.

Swadharma setiap insan itu terkait dengan shirathal-mustaqiim-nya masing-masing. Rabb yang dicari berada di atas jalan itu (Hud [11]: 56), dan yang menjadi kuncinya ada dalam diri nafs-nya sendiri. Setiap manusia akan menemukan Tuhannya lewat pintu jiwanya masing-masing, karena di dalam nafs terdapat Kuasa-Nya, Qudrah-Nya; man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu. Jika manusia bertemu dharma-nya atau kodrat-dirinya, maka kehidupannya dimudahkan. Ini adalah aqabah, jalan mendaki lagi sukar, karena ia harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya. Jika ego manusia tunduk kepada kehendak Allah maka terbuka pintu pengenalan ke nafs (self) nya, dan jika Ruh al-Quds telah Allah nyalakan di dalam qalb si nafs maka terang apinya akan menampakkan amr si nafs yang tertulis dalam dadanya.

Apa yang terdeteksi secara fisik berupa gelombang otak, cahaya aura, atau akumulasi energi di cakra-cakra tubuh, berasal dari cahaya jasadi dan psikis, belum sampai menyentuh ke cahaya jiwa (nafs). Fisik manusia dibangun dari material alam mulk, nafs berasal dari alam malakut, dan aspek psikis manusia berasal dari entitas barzakh antara kedua alam tadi. Cahaya dan energi psikis di atas merupakan permukaan dari esensi cahaya nafs. Karena itu kesehatan yang bersifat fisik dan psikis semata akan cukup tercermin di aura, cakra-cakra dan gelombang-gelombang otak tertentu. Penyakit fisik datang dari pikiran yang tidak jernih. Dalam ajaran Buddha, pikiran tidak akan jernih jika ada kekhawatiran, dan kekhawatiran itu datang dari hawa nafsu dan syahwat. Pikiran itu terkait mind (fu’ad), dan Plato mengatakan bahwa hal pertama yang harus dilakukan dalam terapi medis adalah memperbaiki mind-nya dan cara berpikirnya lebih dahulu.

Pikiran yang tak jernih bisa mematikan qalb, dan jika qalb mati berarti qalb kehilangan Cahaya Jabarut-nya dan ini berdampak lumpuhnya si nafs dalam diri manusia. Jika nafs dalam diri manusia lumpuh maka lumpuh pula kekuatan amr dalam dirinya, sehingga aksi fungsi transenden ke ruang kesadaran tidak terjadi. Orang yang sehat qalb-nya dari dosa-dosa dan penyakit hati akan sehat pula nafs-nya, dan jika si nafs sehat ia akan membimbing raga untuk menemukan obat bagi penyakit fisiknya, dan ini perlu waktu:

“Barang siapa sehat qalb-nya maka akan sehat jasmaninya” (Rasulullah SAW).

Arah dari setiap agama itu pada hakikatnya adalah demi transformasi aspek batin. Demikian pula dengan dharma insan yang bermakna mengerjakan urusan-urusan dunia yang cocok dengan jiwanya agar tak terjadi konflik batin, dan kebersihan batin yang jernih tanpa distorsi nafsu itu akan sangat berguna dalam melihat kebenaran Ilahiah dan sekaligus membuka jalan. Berdharma artinya menyelamatkan qalb: jika seseorang telah bekerja pada dharma-nya (pada orbitnya) maka di situ tidak ada pertentangan antara mana urusan dunia dan mana urusan akhirat; semua menjadi bermakna akhirat dan menyenangkan bathinnya. Orang yang menjalankan dharma-nya, kebahagiaannya tidak bisa dinilai dari luar dirinya, apalagi diukur oleh kacamata syahwat dan pikiran yang telah terbius oleh waham kelezatan duniawi. Orang bisa memandang bahwa ia tengah bekerja keras dan menderita, padahal bagi dirinya merupakan berkah dan kebahagiaan, bagi ia penderitaan hidup itu pada hakikatnya tidak ada.

Dengan mengerjakan misi hidupnya atau qudrah dirinya (dharma yoga) maka qalb orang itu terselamatkan dari penyakit fikiran, dan jika qalb selamat (qalbun salim) ia akan ‘melihat’ Tuhannya. Kata Al-Ghazali, satu-satunya perangkat dalam diri manusia untuk ber-ma’rifatullah adalah qalb-nya. Qalb adalah rasa si jiwa (nafs) dan bukan rasa psikis (emosi) yang dapat tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk ruhani. Lebih jauh Al-Ghazali berkata bahwa jika seseorang tidak mengenal qalb-nya maka tidak akan mengenal nafs-nya; jika nafs tidak dikenal maka dharma tak dikenal; jika dharma tak dijalankan maka terputus jalan untuk menuju Sang Pencipta; dan jika ia terputus jalan maka kesadarannya tidak akan melampaui alam-alam, sehingga kebijakan-kebijakan Ilahi dalam kehidupan semesta tak terpahami (oleh akal bawahnya). Maka dikatakan Allah SWT bahwa hanya Ulul-Albaab (orang yang memiliki akal jiwa/lubb) yang bisa memahami ayat-ayat-Nya, dan lubb itu tidak menyala jika cahaya qalb padam.

Inteligensia atau kecerdasan fisik kekuatannya hanya menyentuh sejauh alam fisik. Jika kita mencoba menggunakan kecerdasan fisik untuk menggeneralisasi atau menginduksi imajinasi ke alam malakut, maka hal ini seperti nasib elemen-elemen vektor yang jika dioperasikan bagaimanapun dengan hukum-hukum ruang vektor, tidak akan melompat keluar dari ruang vektornya. Akibatnya “pantai yang lain” selalu tak diketemukan. Kecerdasan ‘bawah’ hanyalah bayangan dari kecerdasan jiwa (kecerdasan ‘atas’) yang mestinya bisa dilahirkan dengan jalan mujahadah dalam tazkiyyatun-nafs.

Lantas apa sebenarnya kecerdasan itu? Apa makna dari IQ, EQ, dan sekarang SQ? Dan jika melihat struktur dasar manusia yang terdiri dari jasad, jiwa, dan Ruh al-Quds, apakah seseorang bisa langsung mengklasifikasi adanya kecerdasan jasadi, kecerdasan jiwa, dan kecerdasan Ruh al-Quds?

Menurut Ibnu ‘Arabi dan beberapa shufi yang lainnya, bahwa alam semesta itu “mengenal” Allah SWT, alam memahami status dirinya di depan Tuhan. Maka kita melihat bahwa apa pun yang mewujud di alam syahadah ini memandang kepada Sang Pewujud, ini sebuah “kesadaran” dan sebuah “kecerdasan”.

Sebenarnya yang membuat materi itu memiliki kecerdasan karena di dalam dirinya hadir Kuasa Tuhan, sentuhan ‘jari’-Nya terhadap ‘ain segala sesuatu itulah yang membuat segala sesuatu menjadi memiliki wujud, baik di alam mulk ini, terlebih wujud-wujud yang eksis di alam malakut. Maka semua yang Dia wujudkan akan memiliki kecerdasan karena di dalam dirinya ada al-haq, bukankah hakikat segala sesuatu itu al-haq? Secara fisis saja sebuah batu itu mati tampaknya, padahal jika diteropong secara sub atomik maka tampak penuh dinamika, penuh kehidupan, masing-masing partikel bergerak pada orbitnya, memiliki energi, mereka hidup dalam dharma-nya masing-masing, mereka melihat kepada Penciptanya dan mereka mengerjakan itu demi ridha-Nya. Secara fisika, hanya dalam suhu nol mutlak (nol derajat Kelvin = -273 C) maka semua aktivitas terhenti, tapi adakah dimensi di situ? Otak kita adalah materi yang secara intrinsik memiliki “kecerdasan”, tapi pada orang yang mati (hilang ruh dan nafs-nya) apakah otaknya memiliki kecerdasan insani? Seperti halnya pada binatang, yang membuat menjadi memiliki kecerdasan karena adanya ruh hewani, tapi apakah seekor ternak memiliki kecerdasan insani yang kita maksud?

Kecerdasan jasadiah sendiri pada dasarnya berasal dari cahaya nafs dalam tubuh jasad yang bertemu dengan aspek ruh yang menghidupkan jasad. Pertemuan nafs yang hidup dengan potensi kecerdasan lubb-nya dengan potensi kecerdasan lubb-nya dengan tubuh yang memiliki ruh, selain melahirkan “akal bawah” juga melahirkan sejumlah entitas yang lain dengan modus kecerdasan yang berbeda-beda.

Kecerdasan jiwa berkait erat dengan akal-jiwa (lubb) sebagai kecerdasan ‘atas’ atau akal ‘atas’. Apa yang terukur dengan IQ tidaklah berkaitan dengan akal ini melainkan kecerdasan ‘bawah’ belaka. Artinya jika jiwa atau nafs seseorang lumpuh karena dosa-dosa menutup qalb, maka ia masih memiliki akal ‘bawah’. Adapun jika jiwa ‘hidup’ dan akalnya (lubb) sudah tumbuh, maka dikatakan orang tersebut hidup dengan ‘dua akal’, sebagaimana psyche yang diberi lambang kupu-kupu bersayap dua, atau makna dua sayap pada gambaran malaikat. Ilustrasi tentang dua akal ini juga bisa dikenali dalam “Suara Sayap Jibril”, Suhrawardi Al-Maqtul [10].

Adapun makna kecerdasan Ruh al-Quds adalah di luar jangkauan makhluk karena nisbatnya ke Martabat Ilahi. Antara Ruh al-Quds dengan ruh yang menghidupkan jasad insan, perumpamaannya seperti perbandingan antara api dengan terangnya (nyala api), atau ruh yang menghidupkan jasad bagaikan hanya hembusan nafas Ruh al-Quds. Nabi Isa a.s. adalah seorang yang di dalam tubuhnya selain memiliki nafs juga memiliki Ruh al-Quds, maka ketika ia membuat bentuk burung dari tanah liat dengan tangannya, kemudian ia tiupkan melalui mulutnya nafas dari Ruh al-Quds, maka jadilah burung itu hidup dan terbang. Hakikat dari spiritus ini bersifat metafisik dan tak terukur, sementara dayanya tampil di dunia fenomena dalam bentuk-bentuk yang tak terbatas.

Status spirit (ruh) yang samar dalam struktur manusia membawa dampak penyempitan bahkan penyimpangan makna dari arti yang sesungguhnya. Ruh Al-Quds merupakan oknum rahasia (sirr) Ilahi dalam diri manusia, yang tinggal di inti jiwa (nafs, soul), al-insaanu sirriy wa Anaa sirruhu (Al-Hadits). Daya atau nafas dari Ruh Al-Quds yang berdampak menghidupkan jasad (body) manusia kerap menimbulkan kebingungan dalam mengidentifikasi yang mana jiwa dan yang mana ruh. Istilah nyawa dalam literal masyarakat tidak lain adalah nafas dari sukma (ruh), dan kata arwah (ruh-ruh) sering secara keliru dimaknai sebagai nafs (jiwa) yang akan diadili di alam Barzakh. Ruh Al-Quds adalah ruh al-arwaah, yang nafasnya merupakan al-kimiya (alkemis) yang menghidupkan jasad insan, suatu entitas yang pada prinsipnya sama dengan entitas yang menghidupkan tubuh seekor kambing atau burung tanah Isa Al-Masih a.s. Sementara istilah jiwa sering menyempit maknanya menjadi sekadar gejala-gejala psikis.

Konsep Ruh Al-Quds dalam Al-Quran identik dengan konsep ‘Holy Spirit (Holy Ghost)‘ dalam Bible, sebagai entitas yang hadir dari Alam Jabarut, dan ini sering dipertukarkan dengan entitas yang hadir dari alam malakut tertinggi yaitu Jibril a.s. sebagai Ruh Al-Amin (Asy-Syu’araa [26]: 193) yang membawa anugrah-anugrah tertinggi bagi manusia.

Makna api sebagai pelita dalam An-Nuur [24]: 35 sama dengan makna kehadiran lidah-lidah api di Hari Pentakosta dalam Perjanjian Baru (Kisah Para Rasul 2: 1-13) yang membaptis dua-belas sahabat Isa Al-Masih a.s. sebagai para utusan bagi kenabiannya, sesuai dengan yang beliau alaihis-salam janjikan (Yohanes 14: 15-17). Apa yang dinisbatkan kepada martabat insan adalah aspek nafs dan jasadnya, adapun sekali lagi, aspek Ar-Ruh bernisbat ke martabat Ilahi. Trilogi Tuhan, Ruh-Al-Quds, dan an-nafs, menggambarkan turunnya (tanazzul) urusan Ilahi atas manusia-manusia terpilih, dimana urusan (amr dharma) tersebut oleh Ruh Al-Quds dibawa dan diletakkan di inti jiwa, bukan di aspek psikis terlebih di pikiran jasadiyyah.

Penggunaan istilah spiritual pada konstruksi SQ (Spiritual Quotient) sebagai suatu ratio atau ukuran yang brain-based tampak menjadi paradoks, karena entitas spiritual yang bersifat immaterial dan tak terbatas diukur oleh kecerdasan yang bersifat material (neurological basis) dan terbatas.

Konsepsi self Jung berbeda dengan konsepsi self SQ. Jung meletakan self sebagai sub ordinat manusia yang harus direalisasi, merupakan arketipe terpenting di kedalaman unconsiousness yang harus disadari agar kepribadian total (psychê) sebagai “kepribadian target” menjadi terwujud. Adapun SQ meletakan self sebagai psychê yang hadir sejak awal dan terus-menerus melakukan penyempurnaan diri. SQ melihat adanya paradoks dalam konsep individuasi Jung:

Jung after thought the Self only become accessible to people after the mid-life crisis. At that point, in conjunction with his ‘transcedent function’, the self archetype synthesized opposites in the personality, such as thinking and feeling. The Self archetype and the transcendent function were the symbol and process of self-transformation. But Jung thought self-transformation most appropriate to later life, whereas associate it with spiritual intelligence and think it potentially active throughout life. In terms very similar to what I have been saying about SQ, Jung felt the Self archetype could not be dissociated from the psychologically integrating role played by the pursuit of meaning and purpose in life.

Konsep self dan proses individuasi dalam psikologi analitik Jung secara umum sejalan dengan proses realisasi-nafs (jiwa) dalam terminologi quraniyyah. Adalah wajar terjadi kesesuaian karena Jung melakukan studi 14 tahun atas simbol mandala berdasarkan literatur-literatur dimensi batin banyak agama, dimana faktanya Jung menemukan bahwa simbol-simbol mandala ini sering muncul pada pasien-pasien yang mengalami konflik batin (konflik jati-diri) pada usia 40-tahunan.

Al-Quran menyinggung ihwal pertumbuhan pribadi insan hingga baligh-nya dan ihwal usia 40-tahunan, dimana manusia sudah harus melakukan proses taubat (Al-Ahqaaf [46]: 15). Dengan proses taubat maka fitrah insani dalam arti yang haqiqi akan terbuka (Ar-Ruum [30]: 30-31), dimana fitrah ini terkait dengan persoalan swabhawa-swadharma dan qadha-qadar, dan ini terletak di nafs manusia yang harus direalisasi. Jika manusia melupakan Allah SWT, atau menomorduakan urusan Tuhannya, maka Dia akan membuat si manusia tersebut lupa akan nafsnya (Al-Hasyr [59]: 18-19), dan lumpuhlah si nafs itu dari berkata-kata (nathiqah) ihwal fitrah dirinya padahal kesaksian tentang perkara “misi hidup” ini telah diambil si nafs sebelum ia dimasukkan ke rahim ibu (Al-’Araaf [7]: 172).

Ibnu ‘Arabi rahimahullah menyinggung ihwal usia 40 tahun ini ketika beliau menafsirkan makna dari “sapi betina” yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, dan yang berwarna kuning tua (Al-Baqarah [2]: 68-71):

Kuning tua adalah warna insan (Bani Israil, pada waktu itu). Yang dimaksud dengan tidak terlalu tua artinya tidak melewati “umur kesiapan” (istidaad), karena si nafs telah terpadati oleh waham-waham, kebiasaan-kebiasaan, dan keyakinan-keyakinan lama yang melekat kuat, sebagaimana dikatakan bahwa seorang shufi di atas 40 tahun telah “dingin”. Juga tidak terlalu muda, artinya masih belum matang dan belum memiliki “kesiapan”, masih sulit untuk mendapatkan didikan yang ada dalam riyadhah karena tabiat keanakan masih melekat kuat dalam dirinya.[11]

Seperti telah dibahas, bahwa Jung tidak berani melakukan identifikasi psikologis lebih lanjut atas selfnya kecuali menyematkan pangkat paripurna terhadap self sebagai Imago Dei. Jung kehilangan elemen penghubung yang mengkaitkan antara self sebagai makhluk dengan Dei (Tuhan) sebagai pencipta self. Meskipun Jung menunjuk figur Kristus dan Buddha sebagai contoh dari Imago Dei, ia tidak menemukan konsepsi yang menghubungkan status holy Spirit dengan self dan Tuhan. Di titik ini proses-proses rekonstruksi tentang “hakikat manusia” menjadi terhenti ketika data-data agama yang digunakannya dalam proses analisis-sintesis, terbatas. Jika struktur insan sebagai Cahaya Ilahi, atau “struktur status” yang menampakkan rahasia Ilahi tidak dipahami, maka persoalan hubungan spirit-self dan psikis-self menjadi tidak jelas. Samarnya persoalan ini pada konstruksi SQ menimbulkan paradoks seperti kalimat “spiritual intelligence is the soul’s intelligence” sementara pengukuran-pengukuran dilakukan di tingkat psikis bukan di fundamennya.

Zohar dan Marshall menggunakan mandala teratai atau lotus sebagai model bagi self, di mana dalam filsafat Timur lotus merupakan lambang integrasi, simbol tertinggi dari ketotalan (wholeness). Mereka mengklaim bahwa esensi dari SQ yang mereka konstruk merupakan kecerdasan tertinggi (the ultimate intelligence) yang merepresentasikan suatu dinamika pencapaian ketotalan self. Konsepsi SQ membagi self kedalam tiga bagian (tiga lapis) mandala lotus :

(1) Lapis terluar dari self (outer petals) mereka identifikasi berdasarkan pemahaman barat modern, yaitu dalam persepektif ego sadar (conscious ego). Cara pandang ego yang bersifat rasional dikaitkan dengan tract-tract neural otak dan program-program yang bersifat serial. Pada prinsipnya, lapis terluar ini mereka identifikasi dengan attitudes dan functions psikologi analitik Jung, dan enam tipe kepribadian dari psikolog Amerika J.L.Holland.

(2) Lapis menengah lotus (lapis transisi) merupakan associative unconscious yang dihubungkan dengan konsepsi Jung tentang personal dan collective unconscious. Mereka menghubungkan aspek ini dengan geometri paralel dari jaringan neural otak, suatu proses pemahaman yang tidak berfikir secara rasional. Adapun faktor penghubung antara lapis terluar self (conscious ego) dengan associative middle (unconsciousness) adalah motivasi. Ego tidak bisa memperbaiki dan mentransformasi dirinya sendiri, ego merupakan sumber daya bagi lapis terdalam ketaksadaran. Bagi mereka, proses transformasi ego terjadi melalui energi psikis, dimana energi ini terkait dengan konsentrasi energi di cakra-cakra tubuh dalam konsepsi Yoga Kundalini Hindu. Energi psikis ini merespons motivasi-motivasi personal. Maka motif-motif menjadi elemen penting dalam membangkitkan kecerdasan spiritual SQ. Cakra-cakra energi ini juga menghubungkan lapisan unconscious dengan pusat (centre) terdalam dari self. Lapis menengah ini merupakan kolam motif-motif, energi-energi, citra-citra, asosiasi-asosiasi, dan arketipe-arketipe yang mempengaruhi pola pikir, kepribadian, dan tingkah laku, dari arah “dalam”. Bagi mereka , lingkup ego berkaitan dengan IQ dan bagaimana cara kita mengidentifikasi sesuatu. Adapun lingkup associative middle berkaitan dengan EQ dan bagaimana cara kita merasakan sesuatu.

(3) Bagian pusat dari lotus disebut ‘bud‘. Pusat dari self ini merupakan fokus utama dari konstruksi SQ, karena berkaitan dengan pengalaman-pengalaman tentang penyatuan realitas-realitas. Pengalaman-pengalaman tersebut, menurut Zohar dan Marshall, berkaitan dengan hadirnya osilasi simultan 40 Hz yang melintas di neural-neural otak, dimana osilasi pada frekuensi ini berfungsi menyatukan pikiran-pikiran, emosi-emosi, simbol-simbol, asosiasi-asosiasi, dan persepsi-persepsi, sehingga self dalam kondisi terintegrasi. Menurut mereka, berdasarkan seluruh tradisi-tradisi mistik Timur dan Barat, bahwa ada aspek self yang berada diluar lingkup bentuk-bentuk, ini disebut sebagai sumber (source), atau Tuhan. Segala apa yang manifest di self-SQ, baik itu berwujud fisik maupun psikis yang tak disadari, berasal dari suatu sumber yang berada di balik semua yang manifest. Sumber ini dalam kerangka sains abad duapuluh dikaitkan dengan Quantum Vacuum yang merupakan ground state dari energi alam semesta. Secara fisika kuantum, self merupakan ko-sumber dari segala yang manifes di realitas fisik.

Apa yang Zohar dan Marshall sebut sebagai kecerdasan spiritual (SQ) adalah suatu status kecerdasan manusia ketika ketiga aspek dari self tersebut (ego, unconsciousness, dan centre) mengalami integrasi dan menyatu secara psikis. Bagi mereka, pengetahuan tentang pusat self merupakan kunci untuk membangkitkan dan menggunakan SQ, sebaliknya ketidakmengenalan ihwal pusat ini merupakan sebab utama dari ketumpulan spiritual. Dan, proses individuasi Jung yang bernuansa spiritual merupakan tujuan dari SQ. Energi psikis terdalam dari pusat lotus berkaitan dengan Cakra Hindu ke-tujuh, cakra mahkota:

The Crown Chakra, located outside the body, above the head, it is often depicted in religious paintings of the Western tradition as halo. It is pure, luminous energy, sheer light, one light, beyond names and forms, beyond thought and experience, beyond even concepts of “being” and “non-being”. Represented by a thousand-petalled lotus shedding rays of lunar light, the crown chakra realizes the pure union of the human soul with whatever we call ‘God’.

Thought the energies of the crown chakra can create new symbols and forms, this chakra itself is beyond all existing symbol and form. We can experience this pure energy in spontaneous mystical experience of Unity, and it is very commonly reported in near death experiences. Dante describes such an experience in his Paradiso.( [9], p.158 )

Sebenarnya yang terobservasi secara fisik berupa cakra mahkota dan aura tubuh masih terkait sirkulasi chi (Qi) tubuh yang sangat dipengaruhi dan dikendalikan oleh jalan pikiran jasadiah. Aura masih dalam lingkup cahaya material jasad yang teramplifikasi, karena itu wajar jika konsentrasi energi cakra-cakra tubuh akan terintensifikasi oleh emosi-emosi. Jadi cakra mahkota belum menyentuh cahaya jiwa (nafs) yang sebenarnya, yang bersifat malakut. Dalam ajaran Budhisme Zen, bahwa pusat terdalam dari lotus merupakan suatu tempat diluar kemungkinan apapun yang bisa kita bayangkan (a place beyond all imagining).

Makna pusat spiritual dari mandala lotus Zen semakin dipersempit lagi ketika diukur berdasarkan basis neurologi. Dalam membangun model selfnya, Zohar & Marshall memaksakan suatu identifikasi sains atas atribut-atribut dan entitas metafisika atau malakut.

I believe this fuller model of self can be described only by combining the insights of modern Western psychology, those of the Eastern philosophies, and many from twentieth century science, ( [9], p.124)

Until the late twentieth century only this kind of language desribed the unitive energy found at the centre of the self and of the existence. But such accounts don’t speak to the modern mind. Today such questions demand ’scientific’ answers, brain phenomena that we can ‘weight and measure’, experiments that we can read about.

Neurologically, that the brain’s unitive experience emanates from synchronous 40 Hz neural ascillations that travel across the whole brain. They provide a ‘pond’ or ‘background’ on which more excited brain waves can ‘ripple’, to generate the rich panoply of our conscious and unconscious mental experience. These oscillations are the ‘centre’ of the self, the neurological source from which “I” emerge. They are the neurological ground of our unifying, contextualizing, transforming spiritual intelligence. It is through these oscillations that we place our experience within a framework of meaning and value, and determine a purpose for our lives. They are a unifying source of psychic energy running through all our disparate mental experience ([9], p. 159)

For the physics that best describes the centre of the cosmos we must turn to quantum field theory, the late twentieth century adaptation of quantum physics. Quantum field theory describes all existing things as being states or patterns of dynamic, oscillating energy. The grounds state of all being is a still ‘ocean’ or background state of unexcited energy called the quantum vacuum.

This vacuum is scientific version of the Buddha’s handkerchief, the One Thing which, when tied into many knots, appears as many manifestations. All things that exist are excitations of the quantum vacuum, and the vacuum therefore exists as the centre within all things. Vacuum energy both underlies and permeates the cosmos. Because we ourselves are a part of this cosmos, vacuum energy ultimately underlies and permeates the self. We are ‘waves’ on the ‘ocean’ of the vacuum; the vacuum is the ultimate centre and source of the self. When the self is trully centred, it is centred in the gorund of all being. On our lotus of the Self diagram, the quantum vacuum is the ‘mud’ out of which the stem of the lotus grows. ([9], p. 160).



5. Resume dan Kesimpulan
Terapi-terapi klinis dalam lingkup psikologi Barat lebih banyak bergerak di tingkat ego, umumnya mencoba untuk menata gejala-gejala psikis di tingkat fenomenal bukan di sumbernya. Sumber penyakit psikis merupakan medan kontinum yang dibangun oleh dua kutub, kutub atas berpusat di ego sadar dan kutub bawah berpusat di dasar ketaksadaran yang paling dalam. Dua kutub ini saling menginduksi sehingga cenderung saling menguatkan dan saling membesarkan satu sama lain. Beberapa alat psikologi modern mencoba merecall sumber-sumber penyakit psikis dari kedalaman ketaksadaran. Freud dan Jung menyadari dan “melihat” bahwa kekuatan “penghancur” terbesar justru berasal dari sumber-sumber tertentu di kedalaman ketaksadaran.

Samarnya pengetahuan tentang struktur manusia di peradaban Barat modern mengakibatkan para psikolog Barat hingga dewasa ini belum mampu merumuskan konsepsi terapi di tingkat bawah sadar. Apa yang menjadi sumber penyakit di kedalaman ketaksadaran merupakan konstruksi dari produk interaksi antara kontaminan-kontaminan yang ditenggelamkan ego ke lautan ketaksadaran dengan daya dari memori psikis tertentu yang dibawa jiwa (nafs). Jung mengaitkan memori psikis ini terutama dengan arketipe shadow, meskipun Freud tidak setuju dengan gagasan Jung tentang collective unconscious tapi ia setuju dengan ide racial memory.

Konsep fitrah dalam Al-Qur’an bukan berarti setiap bayi seperti kertas putih yang sama, mereka memang tidak mewarisi dosa tetapi daya-daya psikis orang tuanya secara potensial di bawa si bayi. Kondisi psikis kedua orang tuanya saat terjadi pembuahan hingga pertumbuhan janin di rahim si ibu diwariskan di lapis psikis si bayi. Struktur genetik (material) akan beresonansi dengan fluktuasi psikis dan pikiran (non material), elemen penghubung sisi material dengan non material dalam hal ini adalah entitas chi dan cahaya material. Sebagai catatan, cahaya material (terkait aura tubuh) merupakan elemen kelima (the fifth elemen) produk penyatuan keempat elemen dasar (tanah, api, air, udara) oleh nafas ruh. Dan apa yang disebut fitrah itu sendiri, seperti telah kita bahas, berkaitan dengan swabhawa si nafs.

Aspek olah jiwa (suluk) atau dimensi batin dari agama-agama sebenarnya untuk tujuan transformasi dari “arah dalam,” mengubah sayyi’ah-sayyi’ah menjadi hasanah-hasanah (Al-Furqaan [25]: 70-71). Apa yang disebut dengan kecerdasan, di tingkat apapun merupakan produk dari transformasi-transformasi diri, terutama transformasi jiwa. Dalam konsep Al-Qur’an, kecerdasan seseorang dalam suatu lingkup dharma berbanding lurus dengan tingkat kesucian jiwa yang diperoleh lewat jalan taubat (Al-Mu’min [40]: 13). Jika jiwa tumbuh maka akal jiwa (lubb) akan tumbuh juga, sehingga hiduplah akal luar dan akal dalamnya, sejalan dengan apa yang dikatakan Rasulullah SAW:

“Jika seorang manusia berbuat dosa maka akan hilanglah sebagian akalnya dan tak kembali lagi untuk selama-lamanya” (Al-Hadits)

Menurut Zohar dan Marshall, adalah tidak mungkin untuk dapat memahami secara dalam ihwal kecerdasan spiritual (SQ) tanpa meninjau isu-isu seperti: Where do we come from? What is our origin in time? How big is the story of which we are a part? What are we rooted in? How long do we last? Where are the ultimate boundaries of our human existence? What is the source of our intelligence? ([9], p. 115). Mereka membangun model self (versi SQ) yang diharapkan bisa paralel dengan isu-isu di atas. Kecerobohan terjadi ketika mereka mengidentifikasi entitas pusat (centre) dari self dengan quantum vacuum.

Keadaan vakum merupakan ‘lautan’ energi dasar yang berkaitan dengan manisfestasi dan kristalisasi wujud-wujud di alam syahadah (mulk) sebagai realitas-realitas eksternal, boleh dikatakan sebagai hakikat dari segala apa yang manifes secara fisik (alam semesta fisik). Sementara hakikat dari jiwa (nafs atau self dalam arti yang sebenarnya) merupakan “quantum vacuum” yang terletak di alam malakut, bukan di alam mulk. Simbol lotus dalam terminologi Zen merupakan sumber dari segala yang manifes, mencakup seluruh ‘langit’ dan ‘bumi’.

Dalam konsepsi agama, yang disebut dengan semesta alam mencakup jabarut, malakut, dan mulk. Bunga lotus melambangkan manifestasi malakut dan mulk sebagai aspek yang “tampak”, sementara aspek “tak tampak”nya berupa air yang mengalir di dalam tubuh lotus, melambangkan alam jabarut yang bernisbat ke Martabat Ilahi. Pusat dari lotus merupakan “aspek langit” atau aspek malakut yang memang berhadap-hadapan dan dipasangkan dengan “aspek bumi” atau aspek fisik. Dan yang disebut dengan Tao oleh Lao Tzu dalam Kitab Tao Tee Ching merupakan aliran Hukum Ilahi yang menganak sungai alam semesta dan sekaligus mengsinkronkan antara hukum-hukum yang bekerja di alam malakut dengan hukum-hukum yang bekerja di alam fisik. Dan tampaklah bahwa segala sesuatu yang manifes di alam fisik merupakan fraktal dari persoalan langit dan bumi, perempuan dan laki-laki, yin dan yang.

Jika isu-isu yang dikemukakan Zohar dan Marshall diatas sebagai syarat untuk membangkitkan kecerdasan spiritual (SQ), maka sains yang hanya menyentuh alam fisik secara terbatas tidak bisa berbuat banyak. Isu-isu yang diangkat tersebut hanya bisa dijawab sepenuhnya oleh dimensi batin agama, dan ini memerlukan kesucian batin berdasarkan rahmat Allah SWT, karena sisi batin agama atau aspek batin dari kitab-kitab agama termasuk Al-Qur’an tidak akan tersentuh kecuali dengan kebersihan jiwa.

“Itu adalah Al-Qur’an yang Mulia, di dalam Kitab yang terpelihara, tidak ada yang bisa menyentuhnya kecuali orang-orang yang dibersihkan (al-muthaharun)” (Al-Waqi’ah [56]: 77-79).

Arti dari dvijottama atau dwi-jati-utama dalam Bhagavad-Gita adalah jiwa yang telah dilahirkan dua kali, yang pertama dilahirkan secara jasmani dan yang kedua secara ruhani. Dalam kultur Hindu, hanya orang yang telah mengalami kelahiran dua kali yang diizinkan membaca kitab suci Weda, dan tujuan pendidikan dalam agama Hindu adalah upaya ke arah penghidupan batin. Nabi Isa Al-Masih a.s. dalam Injil Barnabas juga menyinggung ihwal dua kelahiran tersebut.

Dalam konsepsi Islam, si nafs dilahirkan atau dihadirkan ke alam fisik secara “virtual reality” melalui jasmaninya, dan kelak si nafs harus mengejawantahkan atau melahirkan isi ruhaninya. Isi ruhani yang harus diejawantahkan hingga ke tingkat jasmani ini merupakan dharma atau amal shalih si nafs (jiwa) yang sesuai dengan Kehendak-Nya. Aspek ruhani ini merupakan ketetapan jiwa yang diperkuat oleh Ruh Al-Quds sebagai utusan Allah SWT di dalam diri. Dan Ar-Ruh ini yang akan mengajari insan tersebut tentang kebenaran dan hakikat-hakikat dari Kitabullah[12].

“Tidak memuat-Ku langit-Ku dan bumi-Ku, yang memuat-Ku hanyalah qalb hamba-hamba-Ku yang mu’min” (Hadits Qudsi).

“Kerajaan Tuhan ada di dalam dirimu” (Al-Masih a.s.).

Daud a.s. dikatakan sebagai seorang yang berhati Tuhan, beberapa kutipan dari Mazmurnya sebagai berikut:

“Aku memuji Tuhan yang telah memberi nasihat kepadaku, bahkan di waktu malam hati nuraniku mengajari aku. Aku senantiasa memandang Tuhan, karena Ia berdiri di sebelah kananku” (Mazmur 16: 7-8).

“Karena Engkaulah yang telah membuat pelitaku menjadi menyala” (Mazmur 18: 29).

“Dia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang dan hakmu seperti siang” (Mazmur 37: 6).

Pengetahuan tentang Ar-Ruh ini sedikit dipahami karena berkaitan dengan alam Amr di Martabat Ilahi, dan rahasia ihwal perkara ini di alam syahadah (fisik) tidak banyak dibuka.

Dan oknum spiritus ini, ketika struktur manusia tidak dipahami, sering menjadi sumber kekacauan utama dalam proses identifikasi manusia, baik itu dalam lingkup filsafat, psikologi, maupun dimensi luar dari agama. Seperti berenang ke dalam laut yang dalam untuk mencari sebab air laut pasang dan surut, sementara rembulan, sang fungsi transenden, tak tampak.

“Tiap-tiap sesuatu bekerja menurut caranya (orbitnya) masing-masing, maka Rabbmu mengetahui siapa-siapa yang terpimpin jalannya (huwa ahda sabiila). Dan mereka bertanya kepadamu ihwal Ar-Ruh, katakanlah bahwa Ar-Ruh itu dari amr Rabbku, dan tidak kamu diberi pengetahuan tentang ini kecuali sedikit” (Al-Israa [17]: 84-85).

Dari ayat di atas, jelas bahwa aspek Ar-Ruh atau Ruh Al-Quds (Holy Spirit) dihubungkan dengan orbit diri atau misi hidup tiap-tiap insan yang unik satu sama lain. Dan rahasia dari Ar-Ruh ini terletak di nafs, dan seperti Al-Ghazali katakan bahwa jika qalb tak dikenal maka nafs tak dikenal. Siapa yang seolah-olah melupakan Allah, maka Allah buat dia lupa akan nafsnya, sehingga tertutuplah jalan untuk mengenal Dia. Barang siapa tidak mengenal nafsnya maka ia tidak akan mengenal Tuhannya.[]

Referensi

[1] Koswara, E., (1991). Teori-teori Kepribadian. Eresco, Bandung.
[2] Jung, C.G., (1987). Menjadi Diri Sendiri, Pendekatan Psikologi Analitis. Terjemahan A. Cremers, Gramedia, Jakarta.
[3] Adlin, A., dan I. Suryolaksono, (2000). Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum Pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme. Journal of Psyché, 1, 15-50.
[4] Jamaluddin-T., Z.A., (1992). Catatan Kuliah Serambi Suluk. PICTS-YPP, Bandung.
[5] Al-Ghazali, (1985). Kitab Ajaibul Qulub, Ihya Ulumuddin, Terjemah Ismail Ya’qub, Faizan, Jakarta.
[6] Jamaluddin-T., Z.A., (1997). Misykat Cahaya-cahaya. PICTS-YPP, Bandung.
[7] Jamaluddin-T., Z.A., (1994). Mata Air Agama-agama. PICTS-YPP, Bandung.
[8] Hall, C.S., dan G. Lindzey, (1985). Theories of Personality. John Willey & Sons, New York.
[9] Zohar, D., dan I. Marshall, (2000). SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence. Bloomsbury, London.
[10] Suhrawardi, S.Y., (1992). Hikayat-hikayat Mistis Suhrawardi Al-Maqtul. Terjemahan Mizan, Bandung.
[11] Tafsir Al-Qur’an Ibnu ‘Arabi.
[12] Sastra Jendra, PICTS-YPP, Bandung.



source : SULUK