Kamis, 17 Juni 2010

Berguru Kepada Allah


Buku "Berguru Kepada Allah" Menghidupkan Kecerdasan Emosional dan Spiritual

Ada banyak sekali pertanyaan pada benak kita, namun terkadang jawabannya tidak mewakili keinginan kita. Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan selalu mendapat jawaban yang tidak sederhana. Kita duduk di bangku sekolah untuk mendapatkan pengertian tentang sebuah ilmu. Namun para guru memberikan definisi dan teori untuk memahamkan muridnya. Sekali lagi, kefahaman itu tidak mampu dicerna oleh semua muridnya.

Kita banyak melupakan sejarah belajar dan menerima pengajaran para nabi dan orang-orang alim masa lampau. Mereka menerima kefahaman terlebih dahulu baru mengajarkan sebuah ilmu. Dimasa kita masih balita, apakah yang kita dapatkan dari seorang ibu ? sebuah pengajaran dan belajar yang sangat unik dan ajaib. Beliau mengajarkan bagaimana menerima pengajaran tanpa kata-kata (parenting), sangat sederhana dan mudah difahami secara utuh (holistic). Ibu tidak pernah mendefinisikan bagaimana rasa kasih sayang dan cinta itu, tidak pula mengajarkan bagaimana cara menghisap air susu. Kita hanya diam untuk memahami sebuah pengertian yang mengalir begitu saja. Kefahaman yang utuh !! Kita menggeliat di pembaringan berbulan-bulan, merangkak, mencoba berdiri lalu jatuh, berdiri, lalu jatuh lagi, ribuan kali ! Ibuku menyaksikan proses itu ... kita hanya diajarkan untuk memahami yang terjadi dalam jiwa kita, sebuah naluri yang merasuk dalam sukma. Mengerti itu adalah sebuah fenomena yang unik dan sederhana. Selama ini konsep kita terbalik !! kita belajar sebuah “pengertian” dari definisi, uraian, penjelasan dan perumpamaan, akhirnya kita tetap tidak mengerti secara utuh.

Bagaimana Allah mengajarkan sesuatu kepada makhluknya? Melalui Apa? Sebuah kefahaman yang bisa dimengerti oleh apa saja dan siapa saja, sangat mudah dan tidak njelimet. Yaitu Sebuah kata tanpa suara (shaut) dan tanpa huruf (harf). Adalah kata-kata Tuhan yang paling sederhana dan mudah kita terjemahkan kedalam bahasa verbal. Kita sudah menerima itu semua, baik berupa ilham baik (taqwa) maupun ilham buruk (fujur). Tanpa mengenal bahasa-Nya, kita akan mengatakan:

- Mengapa Shalat khusyu’ itu sulit dilakukan?
- Mengapa berbuat jahat itu lebih mudah sedangkan berbuat baik memerlukan upaya yang luar biasa?
- Mengapa setiap berdoa sulit memahami jawabannya?

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon saran dan Komentarnya untuk perkembangan blog ini. Terima Kasih.