Minggu, 20 Juni 2010

Renungan Tentang “Mati Sajroning Ngaurip”, Jivan-Mukta, Moksha Selagi Hayat Masih Dikandung Badan



Di depan sebuah laptop yang menampilkan sebuah Blog dari WordPress, sepasang suami istri membicarakan buku “Vedaanta Harapan Bagi Masa Depan”, karya Bapak Anand Krishna.

Sang Suami: Istriku, mari kita lihat kiriman teman dalam blog yang berisi perjalanan kehidupan. Bukan suatu kebetulan bila seorang teman di kala mahasiswa mengirimkan penjelasan Tembang Jawa secara kronologis, sesuai tahapan kehidupan. Diawali Tembang “Maskumambang”, emas yang “kumambang”, terapung, saat manusia berwujud janin yang terapung dalam air ketuban. Kedua “Mijil” berarti keluar dari goa garbanya sang ibu, di saat kelahiran. Dilanjutkan “Kinanti”, di-“kanthi”, digandeng tangannya diajari berjalan menapak kehidupan. Kemudian “Sinom”, menjadi “nom-noman”, remaja usia belasan. Setelah itu “Asmaradhana”, gelora asmara sewaktu dewasa, dalam rangka mencari pasangan. Selanjutnya memasuki “Gambuh” gabungan, membentuk rumah tangga untuk membuat anak keturunan. Selanjutnya “Durma”, aktif berdharma bhakti bagi negara sebagai pahlawan. Diteruskan “Dhandhanggula”, mengolah “gula”, menikmati manisan kehidupan. Kemudian sudah saatnya “Pangkur”, mungkur, undur diri dari keduniawian. Diteruskan “Megatruh”, persiapan “megat” ruh, memisahkan ruh dari badan. Akhirnya “Pocung”, dipocong ditutupi kain kafan.

Sang Istri: Benar juga kata para orang tua, bahwa banyak orang yang lupa “Jawa”-nya, lupa etika tata krama dan tahapan kehidupannya. Melupakan kronologis, tahapan kehidupan dari Tembang Jawa. Sudah “sepuh”, tua tetapi tak mau “mungkur” juga, tak berkeinginan mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak bisa mempercayai generasi muda, karena masih ingin memperpanjang “Dhandhanggula”, menikmati manisnya kekuasaannya. Orang yang semestinya menyanyikan lagu pucung yang penuh canda ria, gembira dipanggil Yang Maha Kuasa, masih menembangkan “Kinanthi”, tidak berani memberdaya diri sendiri juga. Bahkan ada juga yang hidupnya seperti “Maskumambang”, menangis terombang-ambing ombak kehidupan dunia.

Sang Suami: Saya ingat nasehat almarhum profesor saya bahwa kehidupan batin seseorang semestinya lebih tua daripada kondisi fisiknya. Usia boleh tiga puluhan, tetapi sebaiknya sudah empat puluhan usia kehidupan batinnya. Usia boleh empat puluh limaan, tetapi sudah pensiunan kehidupan batinnya. Sayangnya kebalikannya yang sering terjadi. Usia setengah baya pergi ke disko setiap hari. Kijang tua karoseri tahun 80-an dipakai “ngebut pol” di jalan tol Jagorawi. Berapa lama sih daya tahan diri?

Sang Istri: Profesor itu sudah memahami antara kedewasaan dan ketahanan diri. Tetapi mengapa beliau tidak lebih progresif lagi? Mengapa setelah tua baru berpikir mati? Mengapa tidak berpikir tentang mati pada saat ini? Bukankah fisik manusia tidak abadi? Sedangkan keinginan tidak punya batasan. Sehingga menjelang ajal selalu ada kekecewaan. Terlambat sudah datangnya penyesalan.

Sang Suami: Para leluhur mempunyai ungkapan “mati sajroning ngaurip”, selagi hidup sudah mati. Hampir sama dengan istilah zuhud, melepaskan keterikatan terhadap duniawi. Bagi musafir perjalanan Ilahi, mengikatkan diri pada keduniawian berarti perjalanan terhenti. Ada juga ungkapan leluhur, bahwa hidup hanya sekedar mampir minum, berhenti sejenak lalu melanjutkan perjalanan lagi. Intinya hidup perlu dijalani tanpa keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi………

Sang Istri: Benar suamiku, selama masih mempunyai keterikatan, hidup yang nampak “bebas” dalam dunia tidak menjamin kebebasan bagi jiwa. Sesungguhnya, dunia ini sendiri merupakan kurungan bagi jiwa. Jiwa kita jauh lebih luas daripada dunia di mana kita berada. Dunia kita sangat sempit dan menyesakkan jiwa. Kebahagiaan datang dari kebebasan jiwa. Jiwa yang masih belum bebas, yang masih terkurung, tidak paham kebebasan itu apa…… Kita takut mati seperti narapidana yang sedang menunggu hukuman mati. Narapidana tersebut lupa arti kebebasan diri. Yang dikejar hanyalah kesenangan-kesenangan tak berarti dalam bui. Kesenangan di tengah ketakutan akan datangnya hukuman mati. Kita sudah terbiasa hidup dalam penjara diri. Meski terbelenggu konsep-konsep keliru, dan terpenjara oleh tradisi-tradisi yang memperbudak jiwa, tetap saja tidak kita sadari. Padahal penjara diri hanya berupa pola pikiran tertanam yang bisa dilampaui. Manusia bisa keluar dari belenggu pikiran menuju kebebasan sejati.

Sang Suami: Sri Mangkunagoro IV dalam kitab Wedhatama menyatakan bahwa seseorang yang tidak sadar adalah orang yang sakit, tidak sehat jiwanya. Beliau tidak menjatuhkan vonis, bahwa orang yang tidak sadar itu berdosa. Pandangan Beliau akan dibenarkan para ahli ilmu jiwa. Yang sakit jiwa, merasa dirinya hampa, akan selalu mengejar tahta, ketenaran dan harta. Sedang sakit, seseorang ingin menonjolkan dirinya. Yang sakit jiwa merasa begitu kosong, tak berdaya, sehingga membutuhkan pengakuan dari masyarakatnya. Padahal tahta, ketenaran, harta dan pengakuan masyarakat adalah keterikatan nyata. Tanpa itu semua, dia tidak bahagia. Dia terpenjara oleh keterikatannya. Dia tidak sadar bahwa dirinya sakit jiwa.

Sang istri: Moksha atau Kebebasan bukanlah sesuatu yang harus dikerjakan menjelang akhir kehidupan. Moksha tidak berada di ujung kehidupan sebelum datangnya kematian. Moksha harus diupayakan saat ini juga. “Jivan-Mukta” atau “Bebas dalam Hidup” adalah sesuatu yang tidak dapat ditunda. Tanpa kebebasan itu, manusia tidak mampu untuk mengungkapkan kesempurnaannya. Begitu penjelasan dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan”, karya Bapak Anand Krishna.

Sang Suami: Sebetulnya, setiap agama mengajak kita untuk mengalami kematian selagi masih hidup, masih bernyawa. Kematian yang dimaksud adalah kematian ego kita, keangkuhan kita, kesombongan kita, kesia-siaan kita, kebodohan kita, ketaksadaran kita, keserakahan kita, kebencian kita, keirian kita, kecemburuan kita, dan lain sebagainya. Banyak yang malas untuk mengupayakan surga dalam kehidupannya. Mereka yang masih terbakar oleh hawa nafsu dan enggan untuk mematikan api tersebut, sudah pasti menolak Moksha.

Sang Istri: Kebebasan yang disebut Nirwana, adalah padamnya api nafsu yang menyebabkan derita. Nirwana pun haruslah terjadi selagi kita masih bernyawa. Paripurna atau Maha Nirwana, Nirvana Yang Sempurna yang terjadi saat kematian, hanyalah bersifat simbolik saja. Semacam pengukuhan dari semesta yang diperoleh setelah seorang suci mengalaminya terlebih dahulu dalam kehidupannya. Moksha, Nirwana, Surga, Kerajaan Allah dan banyak istilah lainnya, namun yang dimaksud adalah satu dan sama …… “The Blossoming of Human Excellence”, Berkembangnya kemanusiaan dalam diri Manusia. Itulah Kesempurnaan Diri Manusia.

Sang Suami: Moksha, dalam pemahaman Vedaanta, bukanlah pembebasan dari pikiran-pikiran rendah dan hina saja, tetapi pembebasan dari pikiran itu sendiri. Tidak pula berarti bahwa kita harus membenci pikiran atau menafikan sama sekali….. Pikiran perlu dibebaskan dari segala macam keinginan. Bukan saja keinginan untuk mendapatkan kedudukan dan ketenaran, keinginan untuk mati syahid pun keinginan. Keinginan untuk menemukan Tuhan pun keinginan. Sesungguhnya keinginan-keinginan kita itu justru memisahkan kita dari-Nya. Keinginan untuk menemukan sesuatu yang sebetulnya ada. Hilangnya Tuhan dari hidup kita betul-betul karena keinginan kita untuk menemukan-Nya. Karena “kehilangan Tuhan” itu terjadi dalam pikiran kita. Kehilangan itu adalah ilusi pikiran kita. Untuk menemukan kembali apa yang “terasa” hilang itu, kita harus menaklukkan perasaan kita. Kita harus mengoreksi sendiri pikiran kita……… Vedaanta menyatakan bahwa pikiran bukanlah segalanya. Logika adalah hasil dari sebagian otak saja. Dari bagian kiri otak, dan masih ada bagian kanan yang sama besarnya. Masih ada juga batang otak yang bekerja untuk mengkoordinasikan apa yang ada di otak kanan dan otak kirinya. Masih ada bagian lymbic yang berisi insting-insting dasar manusia. Vedaanta melihat manusia sebagai satu kesatuan. Pikiran adalah bagian kecil dari kesatuan. Dan, logika adalah bagian kecil dari pikiran. Jika menjalani hidup berdasarkan logika saja, maka tak akan meraih kesempurnaan. Jelas tidak bisa, karena hanya mengembangkan satu bagian. Bebaskan diri dari kekerdilan! demikianlah seruan Vedaanta. Bebaskan diri dari ketergantungan pada logika. Karena, apa yang disebut logika atau pikiran logis itu hanyalah berdasarkan ilmu yang diperoleh selama hidupnya. Yang ada keterbatasannya.

Sang Istri: Moksha bukanlah urusan akhirat, urusan laduni atau dunia lainnya. Moksha adalah urusan dunia. Jiwa yang tidak bebas hanya dapat berhamba. la sangat miskin dan tidak mampu berbuat sesuatu yang berharga. Sebab itu, terlebih dahulu ia harus mengupayakan kebebasan bagi dirinya. Moksha adalah Kebebasan untuk Berpikir, Kebebasan untuk Merasakan, Kebebasan untuk Berkarya. Hanyalah seorang Manusia Bebas yang dapat mengungkapkan Kemanusiaannya. Namun, Kebebasan yang dimaksud bukanlah Kebebasan anarkis juga. Kebebasan yang dimaksud adalah Kebebasan yang Bertanggung-Jawab, Kebebasan yang Menguntungkan bagi Seluruh Jagad Raya.

Sang Suami: Bumi berputar tiada hentinya. Dia tak punya keterikatan dengan peristiwa yang terjadi di atas permukaan dirinya. Matahari pun selalu bersinar. Tidak punya keterikatan, tidak terpengaruh banyaknya orang sadar maupun tak sadar. Apa yang terjadi bila bumi beristirahat sebentar? Semua yang ada di atas permukaan bumi terlempar. Apa yang terjadi bila matahari jenuh bersinar? Semua makhluk kedinginan dan punah, tak ada kehidupan yang mekar…… Bisakah kita meneladani mereka. Bertindak luhur, penuh kasih dan mulia. Tidak punya keterikatan dengan apa pun juga. Merekalah contoh yang tidak punya keterikatan selain menjalankan dharmanya……. Usia boleh menua, akhirnya fisik akan di daur ulang Sang Kala. Akan tetapi Kasih dalam diri abadi sepanjang masa. Setiap saat penuh Kasih terhadap alam semesta, hidup dalam kekinian, lepas dari jerat putaran Sang Kala. Terus berkarya dalam putaran Dharma. “Mati sajroning ngaurip”, sudah mati keinginan pribadi terhadap keduniawian yang fana. “Mati sajroning ngaurip” merupakan ajaran luhur, yang telah lama terkubur, saatnya bangkit dari “tidur”…… Semoga.

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva.

Sumber : triwidodo.wordpress.com/2010/06/01/renungan-tentang-“mati-sajroning-ngaurip”-jivan-mukta-moksha-selagi-hayat-masih-dikandung-badan/


0 komentar:

Posting Komentar

Mohon saran dan Komentarnya untuk perkembangan blog ini. Terima Kasih.